Rabu, 02 September 2020

Runtuhnya Adat Kami

 Dinginnya Selasa Malam [090214]


Langit kota masih pekat menghitam. Namun tak menyurutkan niatku pulang kampung malam ini. Butuh dua jam mengendarai sepeda motor dari kota Padang ke kampungku, Bayang. Magrib, aku masih di kota. Ku pikir-pikir lagi, kalau-kalau ada yang terlupa. "o ya pesanan Hendra, kartu perdana." Motorku melaju pelan menyisiri jalananan yang telah disiram hujan sore tadi. Tak sulit menemukan konter hp di kota ini. Kartu perdana sudah di tangan. "Semua sudah beres", batinku. 


 Magrib baru saja usai. Bunyi kendaraan masih riuh menemani dinginnya senja. Warna-warni lampu kota menjadi hiburan yang sedap di pandang mata. Aku tebar pandang ke sekeliling. Tampak muda-mudi berpasang-pasang mengendarai motor. Di depanku jembatan Seberang Padang. Pandangku terpaku. Sepasang kekasih terlihat berpeluk mesra di trotoar kiri jembatan. "Sepertinya yang cewek masih SMP," gumamku. Tidak jauh dari jembatan, orang-orang masih bersileweran hilir-mudik seolah tak "ngeh" dengan mereka. 


Sepanjang jalan hatiku menggerutuk. Berusaha meyakinkan diri, kalau ini masih tanah Minang. "Eee udah nyampe Gaung," aku tersadar melihat simpang empat Gaung, persimpangan utama menuju kampungku. "Gaung mang gak pernah sepi." 


Gaung lewat, pantai Telur Bayur pun menyambut. Suguhan pemandangan yang luar biasa. Kerlap-kerlip lampu kapal. Desiran ombak yag berkejar-kejar. Deretan bukit baris-berbaris memagari laut lepas hindia. Motorku menyisir melewati jalan mulus di sepanjang kaki bukit yang menghadap langsung ke laut lepas. Kiri bukit, kanan laut dibawah jurang nan dalam. "Luar biasa," decapku kagum. 


Sejauh dua kilometer aku melewati bukit lampu. Pasangan muda-mudi yang dari tadi beriringan denganku satu-persatu telah berkelok ke pondok-pondok berlampu remang yang banyak dibikin di kiri-kanan bukit ini. Di setiap pintu masuk pondok, terlihat satu dua orang memegang senter. Setiap motor yang lewat selalu kebagian sorot cahaya senter mereka. Sepertinya ini semacam trik memanggil pelanggan. Ingin rasanya aku singgah barang sepuluh duapuluh menit. Untuk sekadar pelepas rasa penasaranku. Ngobrol sepatah dua patah dengan pemilik pondok. Atau mungkin bisa menikmati desahan nakal dari bilik-bilik pondok remang itu. 


Bukit lampu telah berlalu. Di kiri jalan aku disambut Masjid Muhammadiyah nan gagah. Tepat berseberangan dengan gapura pelabuhan Bunguih. Tak lama lagi aku akan melewati satu bukit lagi. Bukit perbatasan kota Padang dengan kampungku Pesisir selatan. Sensasinya akan sedikit berbeda dengan bukit lampu, gelap mencekam.

Senin, 31 Agustus 2020

Imam Kondang, dulu.

Perasaan itu muncul lagi. Agaknya sudah lima kali jarum panjang di jam dinding masjid menunjuk angka yang sama, sejak makmum secara serentak berucap “aamiin”. Dari iramanya, jelas sang Imam belum akan mengakiri bacaannya. Khusukku mulai letih. Pikiranku mengingatkan pada kejadian di bulan puasa lima tahun lalu. Malam itu malam kesepuluh aku menjadi imam di salah satu masjid raya di Padang Selatan. Malam itu sekaligus malam terakhir untukku meimami jemaah di sana. Karena besok malam jadwalku di masjid asrama polisi Jati Adabiah.


Sudah lebih lima menit rasanya setelah Tarawih usai. Setelah berdoa bersama, setiap jemaah berdiri bersalaman berkeliling. Beberapa jemaah mulai berdesakkan di pintu keluar. Kebanyakkan muda-mudi. Mereka seperti bakwan yang hampir gosong, minta buru-buru diangkat. Di saf depan, bapak-bapak mengambil dinding sandaran langganan mereka. Sesaat aku ngobrol, berbasa-basi dengan pengurus. Sebelum kemudian beranjak pulang. 


Demi melihat aku menuju pintu keluar yang mulai sepi. Seorang bapak tua menghampiriku. Tangannya mencengkram tanganku. Lemah saja memang. Tapi kedatangannya yang tiba-tiba cukup mengejutkanku. Raut mukanya yang keriput terlihat memelas. Sepertinya si bapak tua mau menangis. Sebelum air matanya benar-benar jatuh si bapak bersuara, “jan panjang-panjang bana baco ayat ustad. Maretek lutuik ambo.”


Aku tersenyum mengingatnya, hingga kesadaranku kembali. “A'udzubillahi minasysyaithanirrajim,” ku ulang-ulang tiga kali, lalu seolah meludah ke arah kiri. Sang Imam masih larut dalam bacaannya. Hatiku mulai memaki, “ini sudah tiga halaman, mau berapa halaman lagi.” Mungkin seperti itu juga yang dirasakan bapak tua waktu ku imami dulu. Akupun kembali tersenyum dan, “a'udzubillahi minasysyaithanirrajim,” ku ulang-ulang lagi tiga kali, juga seolah meludah lagi ke kiri.


Di sela-sela ku mempertahankan khusuk. Masih juga otakku berpikir-pikir. Ku yakinkan diriku, “ada yang salah dengan mu, Wendra”. Di ujungnya hatiku menganguk-angguk. Dia berbisik, “bohlam lampu yang menyala tak butuh cahaya untuk meneranginya.”

Akademisi dan Sinta

 Klasifikasi akademisi dalam memperjuangkan Akun Sinta:

1. Sangat bersemangat. Upaya yg mereka lakukan: a) membuat kelompok, setiap orang yang mempublis artikel maka semua nama anggota mesti ada. Bisa dibayangkan jika ada 20 orang dalam 1 kelompok. Walau anda hanya punya 1 artikel anda akan tetap terhitung punya minimal 20 artikel, jika setiap anggota publis minimal 1 artikel saja. Bagaimana kalau semua artikelnya dipublis di jurnal terindex scopus?. Dan masing-masing artikel mensitasi artikel lainnya?, b) setiap artikel yang terbit di share di berbagai akun media sosial milik anggota kelompok, diminta setiap orang, setiap keluarga, setiap kenalan mendownload artikel tersebut, tidak peduli akan dibaca atau tidak, akan diberguna atau tidak. Dengan melakukan 2 trik ini saja, kelompok ini SKOR Sinta mereka akan melejit deras. Dan yang tak kalah penting prestise mereka akan meningkat di mata para akademisi. Mereka akan dinilai produktif dan dianggap orang hebat.

2. Semangat tapi lurus tabung. Kelompok ini akan menulis dengan cara konvensional: a) cari ide, b) riset dan cari data, c) analisis, d) tulis, dan e) publis. Ada yang mentok di publis, berulang kali revisi. Tidak sedikit mentok di riset dan penulisan, bahkan yang lebih parah mentoknya sejak di tahap ide. Kelompok ini skor sintanya akan merangkak. Tak kunjung naik. Parahnya kelompok ini sering jadi korban kelompok pertama.

3. Kelompok "masa bodo dengan skor sinta." Kelompok ini biasanya "nulis ya nulis aja." Mau peringkat seratus ribuan di akun sinta, "peduli amat." Kelompok ini terlihat sangat idealis. Sebagian mereka berorientasi pada "pitih masuk," dan sebagian lainnya berorientasi pada pengabdian keilmuan.


Begitulah dunia akademisi. Yang katanya boleh salah tapi tak boleh bohong. Yang katanya mesti harus adil sejak dalam pikiran.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Ide Kebangkitan

 Ide ini udah menyesak di otak dan tanganku. 

Bertepatan dengan pulang kampung ramadhan kemaren, virus-virus ini ku sebar ke setiap orang yang menurutku bisa ku pengaruhi. 

Ide untuk memulai bisnis dari usia dini, atau paling tidak dari saat ini. 

Terserah anda mau bisnis apa, manfaatkan kekayaan daerah kita, akan lebih bagus lagi jika ada kontribusinya untuk kekhasan daerah, dapat membangun generasi yang lebih baik. Jangan bisnis yang malah merusak generasi, pembodohan dengan hiburan semu. Mari pikirkan Bisnis apa yang akan anda jalani.


Kamu sekarang kelas berapa? (saya menunjuk salah satu teman kecil yang ikut mendengar waktu itu), kelas 3 SD bang, jawab tu teman. 

Okeee,, Misalnya gini nih, kamu minta orang tua mu untuk datangin orang kaya di kampung ini, katakan pak ".....", minta dia modalin kamu sepasang kambing, palingan habis duit 1 juta (yang ketek sajo), saya yakin pak "...." pasti mau. 

Trus saya bilang lagi: Kambing itu beranak 3 x dalam 2 tahun bro, dan jarang sekali beranak itu yang satu anaknya, biasanya 2 atau 3. sekarang kamu kelas 3 SD, jika sampai tamat SMA kamu gak jual-jual itu kambing, kira-kira berapa  jumlahnya tuh? (mmmmmm..... ????????? eee.... dianya bingung).

Apalagi nih ya, kambing tuh bisa dikatakan gak ada penyakitnya di kampung kita, ngembalainnya mudah dan gak ngganggu sekolah, karena saya pengalaman dari sebelum SD udh ngembalain kambing gtu bro (curhat nih yeee.. hehe). Kalo kamu ngembalain kambing, kamu gak inget lagi deh tuh mau keluyuran sana sini apalagi mau pacaran (kan udah ada kambing yang jadi pacar kamu,,,, hehe), karena sudah ada tanggung jawab (eee,,, dianya ngangguk-ngangguk, kening berkerut).


Pokoknya banyak hal yang saya beberkan ke teman-teman, di banyak tempat dan biasanya habis tarawihan gtu. Segudang manfaat yang akan kita tuai jika kita menggalakan "memulai bisnis dari usia dini". Kepribadiannya akan bagus, kenakalan remaja jadi jauh, kemauan mereka untuk terus melanjutkan pendidikan akan mulus tanpa kendala materi pastinya. Banyak untungnya dehhh....


Hasilnya mang luar biasa (setidaknya menurut saya). Perbincangan yang selalu memakan waktu hingga larut malam itu, benar-benar membakar semangat mereka. Saat ini, salah satu teman saya yang berprofesi sebagai guru honorer, telah membeli bibit kambingnya dan sepertinya lagi sibuk bikin kandang kayaknya (sukses bro...).

Dan satu lagi teman kecil (masih kelas 1 SMP) di samping rumahnya yang juga getol bangat ngembala kambing...

(Kok jadi gembala kambing semua ya.... hehe).  


Ayoo,,,, mulai bisnismu...

Selasa, 18 Agustus 2020

Aku dan Matematika

 [C]

Aku mencoba mengingat-ingat, bagaimana akhirnya ku bisa terjatuh dipelukkan Matematika. Ku sisiri sungai kehidupan yang telah ku lewati. Ku temukan wajah One di hulunya, mata air kehidupanku. One-ku tak tamat sekolah dasar, memang. Tapi bukan One yang tak mau. Kondisi waktu itulah yang tidak memungkinkan anak-anak di kampungnya untuk bersekolah, apalagi anak perempuan.


Waktu aku masuk SD, aku belum bisa baca-tulis huruf latin. Tidak lebih dari lima huruf yang bisa ku tulis. Itu pun berantakkan. Tapi jika disuruh baca al-Qur-an di halaman mana saja yang ditunjuk, dengan mudah akan bisa ku bacakan, bahkan lengkap dengan irama Bayyati, Hijaz, dan kawan-kawannya itu. Hal yang demikian berlaku umum bagi anak-anak seumuranku di kampung kami. Begitupun dengan angka, menyebutkan satu sampai sepuluhpun aku hafal. Barulah di pertengahan kelas dua aku lancar membaca, bahkan juga berhitung.


Untuk managemen keuangan keluarga kami sepenuhnya diatur oleh One. Setahuku, Abak tak pernah pegang uang. Semua uang yang diperoleh Abak diserahkan ke One. Jika Abak butuh uang, Abak minta dulu ke One. Perputaran uang di keluarga kami selalu dalam kontrol One. Dan dalam hal ini, One sangat bisa dihandalkan.


Tiga kilometer dari kampung kami kearah pantai adalah Pasar Baru. Pasar ini selalu ramai di hari senin. Sehingga orang kampung lebih mengenalnya dengan “Pasa Senen” atau “Pasa Senanyan” yang berarti pasar senin. Dua istilah inilah yang kerap kali menyulitkan orang kampung kami saat pertama kali ke Jakarta. Karena di Jakarta, Senanyan dan Pasar Senen, dua tempat yang berbeda. Di Pasa Senen inilah One berbelanja kebutuhan dapur selama seminggu.


Setiap pulang dari pasar, One akan memanggilku. Lengkap dengan pena dan kertas, layaknya seorang sekretaris, aku akan menuliskan nama barang dan harga yang disebutkan One. Setelah semuanya lengkap didiktekan, atas perintah One, akupun menotalkannya. Dari laporanku itu, One akan menyocokkan antara sisa uang dengan uang yang dibawa ke pasar. Dan tersenyum lega setelah debit dan kreditnya sama. Dalam hal hitung-menghitung ini, sekalipun One tak pernah menyalahkanku. Jika debit dan kreditnya tidak cocok, One akan memikir-mikir lagi, “apo lai yang alun batulihan?.”


Dikemudian hari aku menyadari, lewat kebiasaan ini, One telah dari awal menyiapkanku menjadi penyuka Matematika. Dan kini, gelar master di bidang Matematika ini ku persembahkan buat One. Sehingga aku pun tersenyum lega, persis seperti senyum One waktu itu.

Agustus di Jakarta

 [D]

Malam 17 Agustus tahun ini memberiku pengalaman baru. Di ulang tahun kemerdekaan RI ke-70 itu aku berada di Jakarta. Tapi bukan karena itu malam tujuh belasan tahun ini begitu berkesan bagiku. Malam itu untuk pertama kalinya aku mengendarai motor keliling Jakarta. Di temani pak Andi, salah seorang dosenku yang rasanya sudah seperti saudara kandung. Awalnya ku pikir pak Andi hafal baik jalanan di Jakarta. Karena beliau sudah sangat sering ke kota yang orang-orangnya selalu terlihat sibuk ini. Ternyata asumsiku meleset. he he ... Kamipun akhirnya hanya mengandalkan penunjuk jalan.


Tujuan pertama kami Kota Tua yang terletak di antara Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Baru lima kilometer berkendara, kami telah salah membelokkan motor Bison yang kami kendarai. Alhasil, kami harus kembali ke pangkal jalan, Duren Sawit Jakarta Timur, tempat kami memulainya. Lima kilometer kali dua terbuang percuma. he he ... Selanjutnya kami lebih berhati-hati. Dan kamipun sampai ke Kota Tua dengan selamat.


Destinasi berikutnya Monumen Nasional alias Monas yang berlokasi di Jakarta Pusat. Perjalanan ke sinilah yang membuat perjalanan malam itu menjadi sangat berkesan bagiku. Lama sudah rasanya keliling-keliling, dan malampun semakin larut walau tak sedikitpun keramaian berkurang orangnya. Jalan besar nan macet hingga jalan pinggir kali yang agak kecil, namun tetap macet, telah kami lalui. Pun bongkahan emas di ketinggian 433 kaki itu belum juga terlihat. Tanganku mulai lemas. Pikiranpun mengambang. Kejadian tujuh tahun silam, saat aku tersesat di hutan belantara Bukit Barisan seminggu lamanya, seolah diputar kembali di hadapanku. Entah berapa lama aku melamun, hingga aku tersadar bahwa aku telah salah berbelok. Jika ku teruskan, jalur Busway di depanku. Bila mundur, lampu merah di sebelah kanan telah berganti hijau, dan seketika antrian kendaraan yang mengular itu telah melesat cepat. "Capek wend, beko nyo kaja awak dek polisi beko," bilang pak Andi dengan nada cemas.


Gas si Bisonpun ku putar habis, melaju cepat di jalur Busway. Tak jauh dari sana, Halte Busway sangat ramai dipenuhi calon penumpang. Ku perhatikan semua mata di sana melihat ke arah kami. Masih dengan kecepatan penuh kami keluar dari jalur Busway. Ku lihat petunjuk jalan yang menggantung di atas sana. Ada gambar motor bertanda larangan. Mobil yang tepat di belakang kami mengklakson. Ku percepat laju motor. Di seberang jalan terlihat polisi ramai lengkap dengan kendaraannnya. "Itu Monas wend." Kamipun merapat mendekati mobil polisi. Pak polisi tak menghiraukan kedatangan kami. Dengan kecemasan penuh getar di dada, ku parkirkan si Bison. Ku menghela nafas. Aku merasa seperti baru saja melakoni film Fast and Furious.  


Perjalanan pulang lain pula serunya. Keseruan tersesat di belantara kota Jakarta. he he ...

Rabu, 12 Agustus 2020

Permenungan

 [B]

Sesaat setelah badan ku baringkan, setelah sebelumnya bohlam lampu ku padamkan. Seketika 'ilham' itu masuk. Ide yang sepuluh tahun terakhir ini menjadi buah menungku. Ide yang terinspirasi dari batu yang dilempar ke atas, dan selalu jatuh. Namun mengapa pesawat yang dilontar dengan roket sanggup mengambang di atas sana. Setelah sepuluh tahun sejak imajinasi liar itu menggurita di otakku. Dan setelah tulisan mengenai itu tak kunjung rampung. Kini, tepatnya kemarin, di waktu yang sangat singkat itu, tanya itu terjawab. Jujur, kemunculannya aneh bagiku. Pasalnya sudah lama tanya itu tak ku pikirkan lagi. Juga menjelang memicingkan mata malam tadi itu, pun tak terpikirkan.


Saat 'ilham' itu menganak-nganak di otakku, bohlam yang baru saja ku padamkan ku nyalakan lagi. Ku buka al-Qur'an. Tanganku meraih-raih pena di tas, tak ada. Ku lempar tas itu sebarangan. Ritme jantungku semakin cepat. Mataku melihat spidol di atas meja belajar. Ku sambar saja tanpa pikir. Ku tulis yang hendak ku tulis di kertas tulis yang tertempel di dinding. Butuh lima menit untuk jantungku kembali normal. Ku cium mesra al-Qur'an di genggamanku, sebelum ku taruh di tempat semula. Ku bersimpuh, menghela nafas sejenak. Kemudian sujud beberapa lama. Saat ku kembali duduk, barulah mataku menemukan pena yang terselip di buku catatan sebelah bantal. Ku mulai menulis pokok-pokok yang hendak ku tulis. 


Lama baru ku bisa terlelap. Walau mata telah ku paksa memicingkannya. Aku kuatir kesiangan jika tidak segera tidur. Dan yang ku kuatirkanpun terjadi. Huufff....

Sabtu, 08 Agustus 2020

Review Kehidupan

 [A] Suatu Sore yang tak diambil sebarang


Dulu aku adalah seorang pemimpi berat. Untuk bercita-cita, tak pernah ku ukur bayang-bayangku. Setiap kali guru-guru di kelas bertanya tentang cita-cita, dengan penuh percaya diri ku katakan: "Jadi Astronot." Ku kerja keras belajar, menjadi penggila bacaan, buku apa saja. Tak kurang tiga buku tiga ratusan halaman tamat ku baca tiap bulannya. Mengapa astronot?. Aku ingin mencari dunia yang ideal, dunia yang orang-orangnya tidak suka bertengkar, tidak seperti duniaku saat ini, begitu pikirku. Suatu hari ku bilang pada Abak, aku ingin kuliah sampai tua. Waktu itu, dengan tersenyum meyakinkan Abak berkomentar, "Abak akan kuliahkan sampai di ma waang sanggup." Namun, dikemudian hari kata-kata itu teramat sangat ku sesali. Aku merenung, mungkin saja kata-kata itu telah membuat kerut di kening Abak semakin banyak.


Aku memang tak banyak bercerita ke orang-orang, bahkan juga ke keluarga tentang impianku. Kecuali beberapa pada Abak. Impian itu hanya ku tulis di buku diary yang menjadi teman curhatku waktu itu. Hingga SMA, aku selalu merawat impian yang tak mengukur bayang-bayang itu. Hingga peristiwa besar sepulang sekolah, menjelang kelulusan itu. Hanya dengan satu kalimat, telah mengoyak berbuku-buku impian yang ku tulis, meruntuhkan bangunan impian yang bertahun-tahun ku bangun. Langit sore yang sedari tadi cerah biru mengggantung di atas sana, pun serasa gelap seketika. 


Sejak detik itu, mulailah ku mematut-matut diri. Ku menjadi teramat pesimis. "Aku ingin jadi petani saja," begitu pikirku waktu itu. Di tengah kemurungan panjang yang ku sembunyikan. Suatu hari, silaturahmi dengan seorang teman lama menyirami kembali benih-benih harapanku. Ku berjalan di antara ikhtiar penuh dan mimpi yang dibatasi fungsi kendala yang ku bangun sendiri.


Dan sore ini, di sudut universitas tertua di negeri ini. Ku putar lagi titik balik itu. Ku merasa tak percaya. Bagaimana aku sampai di sini. Lebih tak percaya lagi, sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini. Ingin rasanya ku menampar pipi, agar lekas ku terbangun dari mimpi ini. Namun, ku lihat sekeliling, mobil di jalanan berjalan normal, gelak pak satpam yang duduk tak jauh dari ku telah cukup meyakinkanku, ini nyata. 


Abak, lihatlah anakmu sekarang. Senyumnya semakin manis. Namun yakinlah, dia masih anak bujangmu yang dulu juga. Anak bujang yang sampai SMP makannya masih juga kau suapi dengan tangan yang kau pakai tuk menggenggam 'ulu tajak' itu.


#------#

Sore ini, lewat tulisan ini. Ku sampaikan Terima kasih takberhinggaku kepada temanku Nafnaldi yang dulu telah menunjukkan jalan bagiku, saat semuanya mulai memudar. Suatu saat ingin pula ku sebut satu persatu nama-nama yang telah menjadi tangan-tangan Tuhan bagiku.

Kamis, 30 Juli 2020

Sakitnya Kak Rumi

Ini adalah hari ke 4 Rumi dirawat inap di Rumah Sakit. Kondisinya sudah mulai membaik, namun dokter belum juga memberi izin untuk pulang. Seperti biasa, setelah magrib  aku keluar mencari makan malam. Di senja yang telah pekat ini aku mengarahkan motor ke area pertokoan kampus telanai UIN STS Jambi. Kami ingin tukar selera malam ini. Ayam penyet di Sambal Lalap menjadi pilihan. Mengingat harga yang lumayan, sekotak berdua tak apalah dengan umminya anak.

Motor ku parkir dekat seorang pengamen di sudut area parkir. Sesaat helm ku buka, alunan lagu-lagu lawas menelusuk ke telingaku. Ingin terpaku beberapa lama menikmati, namun ku putuskan tetap melangkah menuliskan menu yang ku pesan. Sembari menunggu, dari meja di depan kasir ku nikmati alunan musik lawas dengan gesekan biola yang begitu menyayat. Ingatanku mengembara ke dahan-dahan pohon di kampusku di Jogja. Malam serupa ini. Di saat-saat hatiku kacau. Di sanalah ku terisak menahan dada yang begitu sesak. Gesekan biola lagu-lagu lawas inilah yang menemaniku melewati kesunyian demi kesunyian. 

Tak sadar dadaku mulai penuh. Na'asnya lagi air mataku sudah sedari tadi jatuh. Beberapa orang di depan mejaku menatap keheranan. Wajah ku seka. Mencoba berpura tak terjadi apa-apa. Ku ambil handphone di saku celana. Ku tekan-tekan tulsnya sembari memikirkan siapa yang akan ku hubungi. 

Sebelum motor ku hidupkan, ku dekati bapak pengamen sambil melemparkan selembar uang kertas ke kantong di samping dia duduk. Ku tersenyum. Si bapak menatapku dengan tatapan seolah ia mengenalku. Terus hingga ku meninggalkannya jauh di belakang.

Sabtu, 27 Juni 2020

Di Yogyakarta

Rasanya belum pernah ku melewati hari tanpa kerinduan. Terlebih di hari-hari bulan ramadhan ini. Rindu keluarga dan orang terdekat, tentu iya. Tapi bukan itu yang hendak ku ceritakan.

Sudah lebih tiga tahun sejak pertama kali ku menapaki kota pelajar ini. Selama itu pula aku menghuni kamar dua kali tiga ku. Di kostan ini ada lima kamar, dan masing-masing dihuni satu orang. Silih berganti tahun, silih berganti pula teman-temanku di kost. Ada yang keluar, juga ada yang masuk. Walau begitu aku cukup mengenal mereka. Aku bisa menebak dengan tepat siapa yang barusan masuk kost, hanya dengan mendengarkan langkah kakinya dari dalam kamarku. Aku juga tahu siapa yang terakhir keluar dari kamar mandi, hanya dengan melihat posisi gayung di bak. Yang terakhir inilah yang mengagetkanku pagi kemarin. Posisi gayung yang tertelungkup di tepi bak mengingatkanku pada seorang teman yang pernah mendiami kost ini. Dia adalah yang terakhir meninggalkan kost setelah menamatkan s2nya di matematika ugm. Ku buka lagi pintu kamar mandi yang baru saja ku tutup. Ku cari-cari, tak ada. Beberapa saat baru ku sadar, dia tak di sini.

Kejadian itu mengingatkan ku lagi pada sosok yang seumur hidup ku rindukan. Sosok yang membuatku cemburu pada Jalaluddin Rumi yang telah menemukan Syams at-Tabirizi, juga pada Plato yang sudah menemukan Socrates. Hanya saja, jika suatu nanti ku menemukannya, jangan pula dia mati di bunuh atau diracun. Dia kan jadi penentram dadaku yang bergetar merindukan Rabbku.

Malam takbir semakin dekat. Mungkin nanti bulir bening di mataku kan menitik. Namun, taklah menyurutkan tekadku tuk tetap di sini. "Pemuda minang memang tercipta untuk merantau," begitu kata seorang teman di kampung dulu.

Jumat, 19 Juni 2020

Keagungan Malam

Permulaan hari ini, dua tahun silam.

Jam 00.00

Malam ini, beberapa menit yang lalu seorang teman yang juga keponakanku mengirimi aku pesan singkat. Begini bunyinya: "Coba mamak keluar skrg liat langit mak". Terang saja aku penasaran. Aku melompat dari red karpet tempat tidurku, bergegas melangkah ke depan kost. Beberapa saat ku pandangi langit. Mataku tak berkedip, menahan rasa penasaran yang tiba-tiba mendera. Langit lumanyan cerah malam ini. Warna biru masih mendominasi. Kerlap-kerlip bintang seolah mengedip manja ke arahku, bak seorang pelacur yang waktu itu berdiri menggoda menjajakan miliknya padaku. Ku urut pelan selatan ke utara. Tak ada yang aneh, masih bintang jua yang berkedip. Ku percepat mengalihkan pandang, ke semua arah yang langitnya tak tertutup gedung-gedung angkuh. Sama saja. Aku seperti orang kehilangan, kalang kabut mencari-cari, lirik sana-sini, tak jua ku temui yang ku cari.

Dengan sedikit kesal, ku balas pesan singkat temanku, ku tulis: "Msh bnyk bintang, walau agak berawan. Mang knp?". Terpikir oleh ku, pasti di sana dia terbahak kegirangan karena berhasil mengelabuiku. Awas saja nanti, akan ku balas. Tak lama berselang, sahabat mungilku kembali berdering, petanda masuknya pesan singkat. Ya, dari dia, bertuliskan: "Tdk ad ap2 mak. Indah kn mak? Tdk ad yg bs menandingi ciptaan Allah.". Sejenak ku tertegun, menyadari kesilafanku. Aku merasa telah meremehkan ciptaan Tuhanku yang maha agung. Saat kita menyaksikan keindahan menara eiffel, pasti lidah kita akan berdejak kagum. Merasa itu luar biasa. Namun, adakah keindahan menara eiffel jika dibandingkan dengan alam semesta ciptaan Tuhan ini?. Ini hanya masalah sering dan jarang kita lihat saja.

Lama ku berpikir. Lamunan membawaku ke tahun-tahun pertama waktu kuliah di kota Padang, kotaku tercinta. Delapan bulan lebih aku tinggal di perumahan TVRI Padang. Tepatnya di Jati Adabiah, dekat SMA Negeri 10 Padang. Begitu panjang untuk diceritakan, hingga aku bisa sampai di sini. Aku puntar saja biar singkat. Sebenarnya aku tidak tinggal di salah satu rumah di perumahan ini. Aku tinggal di Mushalla di sudut perumahan. Awalnya aku hanya menumpang dengan bang Diki, teman yang baru ku kenal yang dikemudian hari ku anggap kakak sendiri. Bang Diki sudah semester akhir saat aku pindah ke sini. Hanya satu dua bulan kami bersama di Mushalla TVRI. Hingga tinggal aku seorang diri. Sebagai seorang “Garin Mushalla”, setiap hari aku harus mengayun tangkai sapu, mengajar mengaji selepas magrib, hingga mengimami sembahyang orang-orang penghuni kompleks TVRI ini. Bagiku ini anugerah yang luar biasa. Di saat jalan untuk bisa kuliah benar-benar telah buntu. Karena ikhtiar bumi yang memang tak kunjung sejalan dengan takdir langit. Kampus impianku, Institut Pertanian Bogor telah menerimaku. Namun, keadaan menyadarkanku untuk tak berharap lebih. Membuatku gamang tuk melangkah.

Hidup sendiri di kompleks ini, benar-benar aku bangat. Aku memang suka menyendiri. Kesunyian membuatku ramai. Di samping Mushalla menjulang tinggi menara TVRI, sempurna sudah hidupku. Menara inilah yang hadir dalam lamunanku malam ini,berawal dari pesan singkat temanku tadi. Akhir 2007 silam, hampir tiap malam tak ku lewati tanpa duduk menyendiri di atas menara ini. Malam semakin larut, dinginnya hembusan angin semakin menusuk tulang. Pun begitu, tak menghalangi langkahku untuk menapaki tangga menara yang beribu banyaknya itu. Aku sampai di puncak. Lantainya dari besi padu yang luasnya delapan kali kamarku. Dingin di atas dingin. Dingin angin malam bersekutu dengan dingin lantai besi beserta dinginnya ketinggian. Kesemua-mua sirna ditelan keindahan panorama yang tersuguh di bola mataku. Dari atas sini, semua sudut kota jelas terlihat. Lampu-lampu gedung bertingkat. Lampu kendaraan yang wara-wiri di jalanan. Cahaya dari rumah-rumah di atas gunung yang melingkari kota. Lampu-lampu kapal yang menyemut di sekitar pantai, sungguh pemandangan yang menakjupkan.

Desiran ombak di pantai Padang nan luas begitu jelas di telinga, seolah memanggil-manggil untuk berenang dan berkejaran. Walau tak terhitung sudah kali keberapa aku berada di puncak menara ini. Tetap saja kekagumanku tak pudur, terhadap keelokan malam di negeri yang katanya beradat ini. Di puncak menara ini, aku leluasa memandang birunya langit malam yang berhiaskan bintang-gemintang. Di puncak menara ini di tengah lelapnya kota, ku ingin menatap wajah-Nya yang akan turun ke langit terdekat, seraya berseru: “… Adakah malam ini yang memohon kepadaku, Aku akan kabulkan permohonannya...”. Di puncak menara ini, aku selalu menanti-Nya, merindui-Nya.

Rabu, 17 Juni 2020

Adik dan Keponakanku

18062014
Di tengah persiapan menghadapi ujian, aku di kejutkan oleh kabar gembira dari adik dan keponakanku, Najmi Laili (Mimi) dan M. Rizky Desyafutra (Rizky). Mereka baru saja menerima rapor hasil belajarnya satu semester ini. Mimi yang akan naik ke kelas delapan mendapat peringkat 6 di kelasnya, satu tingkat dari semester lalu. Sementara Rizky akan naik ke kelas tiga dan mendapat peringkat 4 di kelasnya, padahal semester lalu ia tidak masuk sepuluh besar. Rata-rata nilai mereka juga meningkat. Sontak, ayat-ayat syukur begitu saja terapal dari lidahku.

Sedikit bercerita tentang Mimi. Sebenarnya dulu dia sering dicemooh oleh teman-teman dan orang-orang di sekitar kami di kampung. Sering dibanding-bandingkan dengan Abangnya yang selalu juara kelas. Aku tau betul dia tertekan dengan perlakuan itu. Aku jarang bersama dengan Mimi. Sejak dia masih tiga tahun, aku sudah pindah ke kota Jambi melanjutkan sekolahku. Tahun 2009 Mimi juga pindah sekolah ke Jambi, saat itu dia masih kelas tiga SD. Aku pun telah beralih ke kota lain. Begitulah, kami lebih sering terpisah. Kini, adikku ini telah remaja. Tak banyak yang berubah dari dia. Dia masih sering dipanggil "Amoy", karena mata sipit dan kulitnya yang putih. Terakhir ku lihat rambutnya mulai memanjang. Mungkin karena dulu aku sering melarangnya untuk potong rambut.

Kami hanya berkumpul setahun sekali. Biasanya di bulan ramadhan.Sangat mendukung buat ngajarin dia ngaji, mengulang-ngulang pelajaran sekolahnya. Terutama ya matematika... hehe. Dan ke depan aku akan menambah satu lagi, mengajarinya biola. Aku akan relakan biola kesayanganku digesek olehnya. Walau ku tau biolaku akan terseok-seok menjerit. Yang penting kamu menikmatinya, adikku....

Sabtu, 13 Juni 2020

Cinta Tuhan pada Manusia

Saya lebih suka mengatakan, "kita akan mendapat lebih dari suatu kebaikkan yang kita usahakan."

Saat kita tuntas membaca satu buku, maka kita tidak hanya akan mendapatkan ilmu yang dibuku itu, namun lebih. Karena membaca itu hanya pancingan untuk membuahi bibit-bibit ide di pikiran. Lebih lanjut, "Bagi siapa yang mengamalkan suatu ilmu, maka akan dianugerahi kepadanya suatu ilmu yang khusus untuknya."

Selalu saja ada campur tangan Tuhan dalam usaha kebaikkan yang kita lakukan. "Bagi siapa yang berusaha mendekat kepada Allah sejengkal, maka Allah akan mendekatinya sehasta, apabila usahanya mendekat sehasta maka Allah akan mendekatinya sedepa, dan bagi siapa datang kepada Allah dengan berjalan, maka Allah akan datang kepadanya dengan berlari." Lebih lanjut, "Cinta Allah kepada hambanya 70 kali cinta seorang Ibu kepada anaknya."

Tertulislah sebuah kisah. Seorang pemuda miskin, namun begitu sangat disayangi Ibunya. Di suatu acara, si pemuda bertemu tatap dengan seorang gadis yang menawan mata dan hatinya. Sejak kejadian itu gelisah betul si pemuda. Di mana-mana, wajah si gadis juga yang bersua. Saat makan, wajah si gadis memenuhi piringnya. Kala membaca, tangan si gadis pula yang terlihat melambai-lambai. Bahkan, ketika dia berusaha memejamkan mata untuk tidurpun, semakin di pejam semakin nampak jelas wajah si gadis olehnya. Melihat perubahan anaknya, Ibu si pemuda tak kepalang cemasnya.

Singkatnya, mulailah si pemuda mencari tahu, siapa gerangan gadis yang telah memikat hatinya itu. Ingin betul si gadis akan dijadikannya istri. Dari telusuk yang dia lakukan, tahulah dia bahwa si gadis yang cantik tiada tara itu tak lain adalah anak sang raja di kotanya. Gadis yang selama ini begitu masyur kecantikkannya, walau tak banyak yang benar-benar telah melihatnya. Walau begitu halnya, taklah menyurutkan niat si pemuda untuk menyampaikan maksud hatinya ke orang tua si gadis yang raja itu.

Mendengar maksud yang diutara si pemuda, sang raja pun tersenyum masam, bahkan juga si gadis tak kalah dongkol hatinya. Berani betul seorang pemuda miskin menaruh hati padanya. Bertepuk sebelah tangan si pemuda rupanya. Namun, si gadis tak serta merta menolak si pemuda. Mulailah dia mengajukan syarat-syarat yang tak masuk akal. Pertama, si pemuda harus membawa sekarung emas untuk meminangnya, dan tanpa ragu si pemuda pun menyanggupinya. Tiga hari kemudian datanglah si pemuda membawa sekarung emas ke istana. Si gadis mulai cemas. Di perintahkannya seseorang untuk menyelidiki perihal si pemuda. Hingga dia tahu bahwa si pemuda mempunyai seorang ibu yang sangat mencintai dan dicintainya. Selanjutnya, si pemuda di panggil ke istana. Si gadis mensyaratkan kepala ibu si pemuda sebagai mahar pernikahannya, jika dia benar-benar mau menikahinya. Tercengang si pemuda. Tak habis pikir dia mendengar persyaratan si gadis. Sesuatu yang tak mungkin dia lakukan. Si pemuda pulang dengan kegalauannya. Sesampai di rumah, ditemuinya Ibu yang sangat menyayanginya itu sedang tidur. Entah syetan apa yang merasukinya, sekejap dia berlari ke dapur mengambil parang. Di tebasnya batang leher ibunya itu.

Di tengah kegelapan malam, di bawah rintik hujan si pemuda terus berlari menuju istana. Jatuh bangun dia berlari sambil memegang kepala ibunya. Di tengah jalan yang menurun, kaki si pemuda tersandung. Si pemuda terjaruh. Kepala ibunya tergeletak di dekat mukanya. Mata Ibunya terbuka, "sakit kau nak?." Begitulah si Ibu tak habis cintanya, walau anaknya sebegitu menyakitinya.

"Dan Allah 70 kali lebih cinta kepada hambanya, dari pada si Ibu pada anaknya itu."

Sabtu, 30 Mei 2020

Menyesal

Orang bilang menyesal itu selalu datangnya kemudian. Untuk bisa menyesal dulu sebelum semuanya terlanjur dibutuhkan kesadaran akan hubungan sebab-akibat. Sejalan dengan itu aku melihat gairah mahasiswa (di sini) dalam belajar sungguh mengkuatirkan. Buku, yang seyaknya jadi teman yang dibawa kemana pergi, sudah menjadi barang langka. Sangat sulit menemukan mahasiswa sedang bersitungkin baca buku. Tak perlu mencarinya di luar kelas, karena memang tak mungkin ditemukan, di dalam kelas ketika kuliahpun sulit menemukan mahasiswa yang di atas mejanya ada buku referensi (walaupun iya di kelas tak ada meja bagi mahasiwa.. hehe). Andai saja semangat mereka dalam belajar sama dengan kegasitan mereka dalam menyelip kendaraan lain di jalanan, dan seandainya ketelatenan mereka dalam menyusun jadwal belajar sehebat mereka menemukan jalan-jalan pintas saat sore dilanda macet. Ya, seandainya...

Kembali ke kata menyesal. Akupun menyesal juga kenapa dulu tak belajar lebih maksimal. Sekali lagi, andai saja. Tentu saja standar yang aku maksud tak bisa dibandingkan dengan mahasiswa yang dimaksud dalam status ini. he he ....

Terkait kemampuan untuk menyesal sebelum menyesal itu benar-benar datang, aku teringat akan kebiasaan dulu dengan teman kost, Ucok, begitu aku memanggilnya. Seperti maklumnya mahasiswa, makan di warung murah, pakai telur dan sedikit sayur. Kadang cukup dengan tempe doang. Semuanya disesuaikan dengan lembaran di kantong, yang isinya lebih sering melompong. Tapi kami punya ritual yang mampu menghadirkan rendang dan ayam goreng sebgai pengganti. Yang tersuap ke mulut boleh saja telur atau tempe, tapi mata yang terpumpun yang tak lepas-lepas dari rendang dan ayam goreng di rak-rak warung mampu meyakinkan lidah kami bahwa yang masuk ke mulut itu adalah ayang goreng atau rendang.

Selasa, 05 Mei 2020

Dosen atau Petani?

 Hari ini hari pertama bibit pepaya dipindahkan ke tanah lepas setelah sebulan lamanya ia hidup terkurung di polybag berdiameter sepuluh sentimeter. Hari pertama hanya sepuluh batang yang mampu dipindahkan. Hari ini stamina tidak terlalu fit. Bangun kesiangan tepat saat azan subuh. Lagi pula istri tidak bisa ditinggal lama. Ini hari-hari menjelang kelahiran anak kedua kami, adeknya Rumi.
Saya ikut bertani sejak masih sekolah dasar, membantu Abak. Seperti halnya juga anak laki-laki seumuran di kampung kami. Tanaman yang paling sering ditanam di antaranya Jeruk, Pepaya, dan Cabe. Ilmu bertani kemudian saya pelajari ketika kuliah di Jogja, juga ketika mengajar di Pontianak. Sepanjang pengalaman saya melihat, mereka yang sukses bertani bukan yang kuat tenaganya walau bertani butuh tenaga, bukan yang banyak ilmu pertaniannya mesti harus ada ilmunya. Semua petani yang sukses memiliki keistiqomahan. Mereka terus saja bertanam, satu atau dua batang setiap hari. Mereka memiliki kepekaan terhadap tanaman seolah mengerti bahasa tanaman.
Bertani tidak harus nungggu modal banyak untuk memulai. Mulai saja menanam. Bertani tidak selalu berhasil walau semuanya sudah direncanakan dengan baik.
Saya kembali ke Jambi awal 2017 setelah setahun lebih di Pontianak. Waktu itu saya mulai berpikir apa yang harus saya lakukan untuk menenuhi kebutuhan sehari-hari. Walau mengajar di Perguruan Tinggi Negeri sebagai seorang dosen, gaji saya jauh dari mencukupi. Dosen DLB, begitu kawan-kawan menyebutnya, itulah status saya waktu itu. Mengajar awal tahun gajiannya pertengahan tahun depan. Tak usah kita sebut nominalnya, malu kita. He he ... Tapi ya alhamdulillah, takut disebut tak bersyukur pula. Beruntungnya status dosen DLB tidak lama bertahan. Tidak sampai satu semester status saya berubah menjadi dosen DTNP, Dosen Tetap Non PNS, hingga akhirnya lulus CPNS 2018, masih di kampus yang sama.
Waktu berstatus dosen DLB itu saya pernah bertanam Cabe Rawit di tanah kakak seluas sepuluh tumbuk. Segalanya sudah saya rencanakan. Harga waktu panen sudah saya ramal, dan terbukti bahkan lebih. Bibit yang disemai tumbuh subur. Namun apa dikata, hari-hari itu datang. Hari-hari di mana saya terlalu sibuk di kampus. Hampir seminggu bibit rawit tidak saya lihat. Seharusnya hari itu bibit mesti ditanam di lahan yang sudah saya siapkan sebelumnya. Naasnya semuanya telah bergelimpangan, mati di-'kakeh' ayam. Hari itu hari terakhir saya ke ladang. Semua rencana buyar. Harga cabe rawit yang sudah saya ramal itu, yang mencapai seratus limapuluh ribu rupiah perkilonya itu tidak dapat saya nikmati.
Tahun ini girah bertani saya kembali. Setelah bertetangga dengan Cak Imam, dosen baru asal Lamongan. Naluri ramal saya kembali. Semuanya sudah saya rencanakan. Lebih hebat dari rencana yang gagal itu. Kali ini saya tidak mau menyerah, pun nanti gagal lagi. Berbagai tanaman sudah saya siapkan. Proses hulu hingga hilirnya sudah matangkan. Tanah seluas limabelas tumbuk dalam proses persiapan dari yang semulanya semak belukar. Sepuluh tumbuk milik pak Hasbi, rekan sesama dosen dulu, yang juga sama-sama lulus PNS. Lima tumbuk sisanya juga numpang di lahan sebelahnya. Baru separuh yang siap ditanami, ditanami saja dulu. Apa boleh buat bibit Pepaya sudah memaksa ingin segera dipindah. Lebih cepat dari yang direncanakan.
Dari pepaya ini, semoga tahun depan terbeli tanah satu hektar. Ini rencana 3 tahun ke depan. Lokasinya sudah ada. Sudah diramal pula. Langkah perlangkah apa yang akan dilakukan sudah ada. Tinggal duitnya yang belum ada.
Semoga tahun depan bisa bertanam di lahan sendiri. Amin.