Liburan
semester 2008 adalah yang paling berkesan dalam hidupku. Pengalaman
berjalan kaki tak kurang dari 300 km disepanjang pegunungan bukit
barisan selama 52 hari, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah
Christopher Johnson McCandless versi bumi andalas.
Kami
sebelas orang dan kebanyakkan mahasiswa, dengan bekal apa adanya, masuk
kampung keluar kampung, menyisiri medan yang tak mudah. Pegunungan Bukit Barisan, di sinilah beberapa urang cadiak asal Minang pernah kesasar, sebut saja Bapak Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri) dan baru-baru ini Rombongan DPRD kabupaten Solok juga kesasar di rerimbunan Bukit Barisan ini. Nasib yang sama juga kami alami, kesasar
di hutan yang sejengkal tanahnyapun tak tersentuh matahari, duduk
terpekur di sarang-sarang inyik belang kala malam menjelang. Bahkan beberapa hari tak sesuappun makanan masuk ke lambung,
hanya sesekali buahan sisa kera hutan yang membuat kami rakus,
sambil mencibir ke arah kera yang lari terbirit. Di tengah kepayahan
yang bertambah-tambah itu, panorama hutan belantara yang bak negeri
dongeng membuatku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini benar-benar
terjadi?.
Hari itu hari ke-3 sejak kami meninggalkan kampung
terakhir. Waktu zhuhur telah masuk, kami berjemaah di tanah miring itu.
walau masih siang bolong namun matahari tetap saja malu-malu, menyuruk
di lebatnya pohon-pohon tua bangka itu. Siang bergulir berganti malam
gelap mencekam. Lagi-lagi kami tak menemukan tanda-tanda akan keluar
dari cengkraman ini, malah lebih parah, kami terperosok ke lembah curam
nan dalam, sangat dalam. Malam itu sangat dingin, kami menghamparkan
terpal biru, melingkar mengelilingi api unggun menemani pikiran-pikiran
kalut, suram nyaris tanpa harap bisa pulang ke rumah.
Pagi
buta, baru saja habis subuh kami mulai melangkah meninggalkan lembah,
tujuan kami hanya satu, puncak gunung. Setelah seharian mendaki dan
mendaki, tak dinyana jam tanganku telah berbalik, sekarang pukul 5 sore.
Kepayahan ini belum berakhir, terus saja mengronis. Benar-benar letih
di atas letih, kepayahan yang bertambah-tambah di kegelapan yang
berlapis.
Sudah seminggu kami berjalan tak tentu arah. Mulut
kami tak henti-hentinya merapalkan Yasin, aku sudah puluhan kali
mengulang-ulanginya, lidahku mulai kaku, aku mulai putus asa dengan
semua ini.
Malam terus berlari, mendahului langkah kami. Dikejauhan,
cahaya kerlap-kerlip sayup-sayup terlihat, tak ubahnya seperti mata
bidadari yang menggonda manja, memelas tuk didekati.
Butuh waktu 7
jam untuk sampai ke sini dari tempat kami berdiri tadi. Ini lah kampung
tujuan kami, "Garabak", begitulah orang sini menyebutnya.
Luar biasa senangnya hati ini, akhirnya bisa ketemu manusia lagi selain kami bersebelas.
Derita belum berakhir, inilah puncaknya, jauh lebih tinggi dari pada puncak bukit barisan yang telah kami daki.
Masuk kampung orang ditengah malam, kami telah dinanti dengan puluhan
pemuda lengkap dengan anjing buruan yang tak henti-henti menyalak
menunjukkan taring-taringnya yang panjang.
Kami berusaha memelas, berharap bisa merebahkan tubuh yang hampir rubuh ini barang semalam di kampung mereka.
Sepertinya masyarakat sini tak punya hati, jangankan semalam satu
menitpun tak ditenggang. Batu-batu mulai bertebrangan, lolongan suara
anjing kelaparan mengusir tanpa ampun. Terlintas kisah ribuan tahun lalu
di otakku, saat Nabi mulia dihinakan dan diusir dari kampung Tho'if.
Air mataku tak terbendung lagi, debu di wajah tersapu derasnya aliran
bening yang terus membasahi dadaku.
Derita ini belum berakhir, aku tak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku, disini. Ku ingin pendam ia dalam-dalam.
By: Betri Wendra
(Photo: http://assets.kompas.com/data/photo/2012/04/21/4699992p.jpg)