Rabu, 16 Oktober 2013

Indra Syafri

          Bukan maksud berbangga-bangga. Namun, tak kupungkiri rasa senang itu begitu saja menyelinap di hati. Pasalnya pelatih Timnas U-19 Indra Syafri bener-bener sekampung dengan ku (bukan sekadar satu provinsi, tapi lebih dekat lagi. Rumah beliau hanya berjarak tak lebih dari 10km dari rumahku). Sebenarnya bukan karena posisinya sebagai pelatih Timnas yang membuat besar hati ini, lebih karena kepribadiannya yang luar biasa.
Thanks very much, Anda telah menambah referensi orang2 terpilihku.

[Photo: http://cdn.klimg.com/bola.net/library/p/headline/0000129801.jpg]

Negeri manusia terpilih

Di negeri "bumi manusia" inilah manusia-manusia setengah dewa hidup dan menghidupi. Sesuatu yang musykil nyata di sini. Kita akan saksikan adegan keikhlasan vulgar terlihat. Inilah negeri impian, tanah yang dijanjikan (versi kontroversi).

Betri Wendra
[Terinspirasi setelah membaca blog:
http://saptuari.blogspot.ca/2013/10/tuhan-maha-sutradara.html?m=1]

Sabtu, 12 Oktober 2013

Bedah Buku: Api Sejarah 1 dan 2

Butuh waktu empat belas tahun bagiku untuk mengurutkan adegan sejarah bangsa ini dalam otakku. Dan hanya butuh waktu empat jam saja untuk membuatnya terserak berhamburan.
Bedah buku Maha karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Guru besar Universitas Padjajaran Bandung, siang tadi di Masjid Kampus UGM sungguh mengesankan.
Ribuan pasang mata dibuat ternganga dengan paparan sang Kyai (Aku menyebutnya demikian) yang sudah sesepuh ini. Begitu sang kyai memulai, jemari sang kyai meliuk2 menggambar peta dunia tepat di hadapanku di atas sebuah papan tulis yang tersedia. Kepiawaian sang Kyai merangkai kata dengan bagan2 apik, membuat kami dengan mudah menapaki aliran sejarah yang sudah berlalu berabad-abad lamanya itu.

Awalnya aku yang duduk hanya 2 meter saja di depan sanga Kyai merasa tersinggung, bahkan sangat tersinggung. Bermula dari pembicaraan perihal jam tangan yang mesti ditangan kanan (mata sang Kyai melirik jam tangan yang terpasang kokoh di tangan kiriku), hingga tokoh2 dari Minang yang menjadi objek pembicaraan kelamnya sejarah negeri ini. Nama-nama semisal M. Yamin dan Tan Malaka diseret-seret karena kiprahnya menjadi induak angkang sebuah partai sayap kiri kala itu. Namun ketersinggungan itu sirna ketika sang Kyai membahasakan kekagumannnya terhadap pendekar2 Minang yang lain seperti Bung Hatta, Buya Hamka dan nama2 besar urang awak lainnya.

Usai acara aku memboyong dua buku fenomal torehan tinta sang Kyai ini. Tidak tanggung-tanggung 200rb minggat dari dompetku. Ini menjadi berat karena kondisi keuanganku yang sedang menyedihkan saat ini. Hanya tersisa selembar duit bergambar Soekarno-Hatta di tanganku yang mulai gemetar. Sementara masih seminggu lagi subsidi baru datang. ya sudah mau bagaimana lagi.

Dalam-dalam ku pandangi buku-buku yang telah ditanda tangani langsung penulisnya ini. Berharap Ia mampu mengusir rasa lapar yang mulai menyerang kampung tengahku, setidaknya untuk malam ini.

 

By: Betri Wendra
(Photo: http://us.images.detik.com/content/2010/01/09/486/Api-Sejarah-Insert.jpg)

Cinta berkasta?

Kadang aku curiga, apa benar Tuhan tidak menciptakan kasta.
Perkawanan, perkongsian bahkan cinta tak jarang terkotak, terkasta.
Inilah deritaku sedari dulu.
Inilah hidup, bisik naluriku. Mungkin kata2 cak Nun ada benarnya, "Untuk tahu Tuhan jangan tanya manusia, tanya langsung ke Tuhan".
Cukup kau banyak membaca. Membaca yang real dan yang unreal (baca: Anreal... hehe), terus rasakan kalimat-kalimat itu akan menggores dalam hati dan pikirmu.

Akhirnya aku bimbang, tak ada judul di kertas ini. Menunggu pintu langit tersibak, menjatuhkan buahnya.

By: Betri Wendra

Setangkai Putri Malu untuk Laili



Yogyakarta, 17 Juni 2013
Setangkai Putri Malu untuk Laili

Ini tak biasa. Ku mulai membalik lembaran usang tak tersentuh.

Kita yang terlahir di masyarakat kaku ini. Acapkali haus akan tutur lembut di  rumah sendiri. Kata-kata sayang, senyum penuh cinta sesuatu yang mahal di sini. Kita mungkin sangat mudah mengatakan rindu sama seseorang yang kemarin kita kenal, tapi tak kepalang payahnya untuk mengatakan: ”Bu, Aku sayang sama Ibu…”.
Tiba-tiba ku teringat adikku yang lagi galau nun jauh di sana, nentuin mau lanjutin sekolah kemana. Sebenarnya, banyak kata yang tertunda untuk ku bagi padamu, adikku. Mungkin saat ini, kau masih kecil tuk merasakan semuanya. Abang berharap suatu saat nanti kau akan temukan setangkai putri malu ini, duhai sang Bintang Digelapnya Malamku (Najmi Laili).
Dik, kamu takut ya sama abang?.
Sekarang kamu kan udah punya HP sendiri ya. Kok dak pernah ngubungin abang? Abangkan juga pengen tahu gmana sekolah kamu, tentang hasil UN kamu. Kamu mau lanjut ke SMP atau Tsanawiyah, dik? Atau ke pesantren seperti yang Ni Devi bilang ya?.
Maafkan abang ya dik. Abang belum bisa bantu apa-apa sekarang. Abang pengen bangat kamu sekolah di pesantren itu, kata Ni Devi pesantrennya bagus ya dik. Kamu udah pernah ke sana?.
Dik, kamu ingat dak dulu waktu di kampung. Kalau One ngelarang kamu mandi ke kali, pasti bilang abang marah ya. Wah, sekarang kamu udah besar. Udah setinggi Ni Yuli.
Bang masih ingat, waktu pulang kemarin kamu minta dibeliin jilbab. Ntar kalau bang balek bang bawain ya dik ya.
Ya Allah, papahlah adikku disetiap langkah kecil hidupnya.
Jangan lepas tangannya, kala badai benar-benar kuat menghempasnya.
Ya Allah yang maha lembut, lembutkanlah hati dan lakunya.
Jangan timpakan dosa-dosa hamba padanya.
Ya Allah yang maha indah, karuniailah Ia keindahan yang menebar bunga-bunga rampai di hati kami.
Ya Allah, engkaulah sebaik-baik pelindung.
Lindungi adikku ya Allah…

Dia yang Nelansa merisaukanmu,


B. W. Syailendra



Kamis, 03 Oktober 2013

Sepenggal cerita 08

Liburan semester 2008 adalah yang paling berkesan dalam hidupku. Pengalaman berjalan kaki tak kurang dari 300 km disepanjang pegunungan bukit barisan selama 52 hari, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah Christopher Johnson McCandless versi bumi andalas.


Kami sebelas orang dan kebanyakkan mahasiswa, dengan bekal apa adanya, masuk kampung keluar kampung, menyisiri medan yang tak mudah. Pegunungan Bukit Barisan, di sinilah beberapa urang cadiak asal Minang pernah kesasar, sebut saja Bapak Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri) dan baru-baru ini Rombongan DPRD kabupaten Solok juga kesasar di rerimbunan Bukit Barisan ini. Nasib yang sama juga kami alami, kesasar di hutan yang sejengkal tanahnyapun tak tersentuh matahari, duduk terpekur di sarang-sarang inyik belang kala malam menjelang
. Bahkan beberapa hari tak sesuappun makanan masuk ke lambung, hanya sesekali buahan sisa kera hutan yang membuat kami rakus, sambil mencibir ke arah kera yang lari terbirit. Di tengah kepayahan yang bertambah-tambah itu, panorama hutan belantara yang bak negeri dongeng membuatku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini benar-benar terjadi?.

Hari itu hari ke-3 sejak kami meninggalkan kampung terakhir. Waktu zhuhur telah masuk, kami berjemaah di tanah miring itu. walau masih siang bolong namun matahari tetap saja malu-malu, menyuruk di lebatnya pohon-pohon tua bangka itu. Siang bergulir berganti malam gelap mencekam. Lagi-lagi kami tak menemukan tanda-tanda akan keluar dari cengkraman ini, malah lebih parah, kami terperosok ke lembah curam nan dalam, sangat dalam. Malam itu sangat dingin, kami menghamparkan terpal biru, melingkar mengelilingi api unggun menemani pikiran-pikiran kalut, suram nyaris tanpa harap bisa pulang ke rumah.

Pagi buta, baru saja habis subuh kami mulai melangkah meninggalkan lembah, tujuan kami hanya satu, puncak gunung. Setelah seharian mendaki dan mendaki, tak dinyana jam tanganku telah berbalik, sekarang pukul 5 sore.
Kepayahan ini belum berakhir, terus saja mengronis. Benar-benar letih di atas letih, kepayahan yang bertambah-tambah di kegelapan yang berlapis.

Sudah seminggu kami berjalan tak tentu arah. Mulut kami tak henti-hentinya merapalkan Yasin, aku sudah puluhan kali mengulang-ulanginya, lidahku mulai kaku, aku mulai putus asa dengan semua ini.
Malam terus berlari, mendahului langkah kami. Dikejauhan, cahaya kerlap-kerlip sayup-sayup terlihat, tak ubahnya seperti mata bidadari yang menggonda manja, memelas tuk didekati.
Butuh waktu 7 jam untuk sampai ke sini dari tempat kami berdiri tadi. Ini lah kampung tujuan kami, "Garabak", begitulah orang sini menyebutnya.
Luar biasa senangnya hati ini, akhirnya bisa ketemu manusia lagi selain kami bersebelas.

Derita belum berakhir, inilah puncaknya, jauh lebih tinggi dari pada puncak bukit barisan yang telah kami daki.
Masuk kampung orang ditengah malam, kami telah dinanti dengan puluhan pemuda lengkap dengan anjing buruan yang tak henti-henti menyalak menunjukkan taring-taringnya yang panjang.
Kami berusaha memelas, berharap bisa merebahkan tubuh yang hampir rubuh ini barang semalam di kampung mereka.

Sepertinya masyarakat sini tak punya hati, jangankan semalam satu menitpun tak ditenggang. Batu-batu mulai bertebrangan, lolongan suara anjing kelaparan mengusir tanpa ampun. Terlintas kisah ribuan tahun lalu di otakku, saat Nabi mulia dihinakan dan diusir dari kampung Tho'if. Air mataku tak terbendung lagi, debu di wajah tersapu derasnya aliran bening yang terus membasahi dadaku.

Derita ini belum berakhir, aku tak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku, disini. Ku ingin pendam ia dalam-dalam.



By: Betri Wendra
(Photo: http://assets.kompas.com/data/photo/2012/04/21/4699992p.jpg)