Kamis, 06 Februari 2014

Angin pagi yang mengembalikan memori

Suasana pagi ini mengingatkanku saat pagi-pagi yang lalu di kota padang tercinta. Usai menunaikan kewajiban meimami sembahyang subuh di mushalla muta'allimin, sepeda ku kayuh melintasi jalan raya kota yang masih sepi, jauh dari kebisingan klason angkot yang memuakkan itu. Guratan hitam masih mendominasi langit kota di atas sana. Dinginnya angin subuh yang menusuk tak jarang membuat remangku merinding. Kakiku terus mengayuh, bak seorang violinis yang keasyikkan menggesek busur biolanya, ketentraman terasa membuncah di dada. Sepedaku terus melaju, di kiri jalan kampus kedokteran unand berdiri kokoh, seperti biasa ku selalu menyempatkan beberapa menit menertawakan diri sendiri karena sempat bermimpi untuk kuliah di sini, di kampus yang lebih menanyo saku ketimbang otak ini.

Sepeda ku kayuh lebih cepat, rumah sakit M. Jamil telah tertinggal jauh di belakang. Aku berbelok ke kanan, melewati rumah sakit Aisyiah, perempatan lampu merah, terus SMA 1. Ku mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk parkir, terus menuju sebatang pohon yang hanya beberapa langkah lagi di depanku, depan bioskop padang teater.

Ya, inilah rutinitasku waktu itu. Membeli beraneka ragam penganan, ada limpiang, bakwan, roti, dan ada agar-agar juga, macam-macam, dan harganya relatif sama 250 rupiah perbijinya. Ibu-ibu yang biasa jual di sini biasanya melayani pembeli dengan jumlah banyak, semacam grosiran gitu. Ada juga satu dua yang hanya beli seribu dua ribu untuk palapeh tanyo anak-anaknya di rumah.

Hari ini aku beli 250 biji, pesanan dari seorang teman untuk acara seminar di kampus. Tek Us (panggilan akrab penjual penganan langgananku) dengan cekatan menyiapkan lima kantong hitam besar dan mengisinya dengan lima jenis penganan pula. Selanjutnya ku cari angkot untuk membawa pesanan ini ke kampus, sementara aku mengiringinya dengan sepeda.

Subuh ini, walau hanya dalam kamar kos ini. Aku kembali merasakan euforia yang sama dengan subuh empat tahun silam di kota kelahiranku itu.