Suasana
pagi ini mengingatkanku saat pagi-pagi yang lalu di kota padang
tercinta. Usai menunaikan kewajiban meimami sembahyang subuh di mushalla
muta'allimin, sepeda ku kayuh melintasi jalan raya kota yang masih
sepi, jauh dari kebisingan klason angkot yang memuakkan itu. Guratan
hitam masih mendominasi langit kota di atas sana. Dinginnya angin subuh
yang menusuk tak jarang membuat remangku merinding.
Kakiku terus mengayuh, bak seorang violinis yang keasyikkan menggesek
busur biolanya, ketentraman terasa membuncah di dada. Sepedaku terus
melaju, di kiri jalan kampus kedokteran unand berdiri kokoh, seperti
biasa ku selalu menyempatkan beberapa menit menertawakan diri sendiri
karena sempat bermimpi untuk kuliah di sini, di kampus yang lebih
menanyo saku ketimbang otak ini.
Sepeda ku kayuh lebih
cepat, rumah sakit M. Jamil telah tertinggal jauh di belakang. Aku
berbelok ke kanan, melewati rumah sakit Aisyiah, perempatan lampu merah,
terus SMA 1. Ku mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk parkir,
terus menuju sebatang pohon yang hanya beberapa langkah lagi di depanku,
depan bioskop padang teater.
Ya, inilah rutinitasku waktu
itu. Membeli beraneka ragam penganan, ada limpiang, bakwan, roti, dan
ada agar-agar juga, macam-macam, dan harganya relatif sama 250 rupiah
perbijinya. Ibu-ibu yang biasa jual di sini biasanya melayani pembeli
dengan jumlah banyak, semacam grosiran gitu. Ada juga satu dua yang
hanya beli seribu dua ribu untuk palapeh tanyo anak-anaknya di rumah.
Hari ini aku beli 250 biji, pesanan dari seorang teman untuk acara
seminar di kampus. Tek Us (panggilan akrab penjual penganan langgananku)
dengan cekatan menyiapkan lima kantong hitam besar dan mengisinya
dengan lima jenis penganan pula. Selanjutnya ku cari angkot untuk
membawa pesanan ini ke kampus, sementara aku mengiringinya dengan
sepeda.
Subuh ini, walau hanya dalam kamar kos ini. Aku kembali
merasakan euforia yang sama dengan subuh empat tahun silam di kota
kelahiranku itu.