Sabtu, 20 April 2013

Filsafat Cinta

Cinta yang dalam, kadang memang membingungkan,
tapi nyata.
Seperti nyatanya deretan angka-angka yang mengisi hari-hariku itu.
Cinta yang tulus itu polos,
tak punya alasan.
Seperti halnya embun yang tak butuh warna,
biar daun jatuh cinta.

Cinta butuh tawa dan air mata.
Karena cinta bertengger di titik ekstrem,
bukan pada garis lurus.

By: Betri Wendra

Jumat, 19 April 2013

Abak,"Bet sayang samo Abak"

"Abak", begitulah Ku memanggil orang tua laki2Ku.
Ujuk-ujuk, beliau menyelinap dalam mimpi ditidurKu kemarin malam. Sebuah Mimpi yang membuatKu kangen berat dengan beliau yang berujung aliran bulir bening di pipiKu.
Jam digital di HandponeKu menunjukkan pukul 23.30 WIB.
Malam itu Ku tidur lebih awal karena aktifitas seharian yg begitu melelahkan, ditambah suhu tubuh yg panas dingin tak menentu.

Ku coba meraih Handpone di meja belajarKu.
mencari-cari nama yg bertuliskan "2.aB!".
Tak butuh waktu lama mencari, karena nama itu terletak no. 2 paling atas setelah nama "1.Umm!" di daftar panggilan handponeKu.

Setelah panggilan tersambung. "Assalamu'alaikum, ba a kaba bak, sehat?." UcapKu memulai percakapan. "Wa'alaikum salam, alhamdullillah sehat", jawab bapakKu.
"Waang ba a lai sehat di situ?" Beliau balik bertanya. "Alhamdulillah berkat do'a abak, bet lai sehat2 c nyo." JawabKu.

Setelah bercerita tidak terlalu panjang, Ku tahu baliau masih sangat capek karena seharian memanen sawit di ladang yg jaraknya dari rumahKu sampai 2 jam perjalanan dengan mobil umum. Untung saja ada buruh di sana yang membantu.
Untuk saat ini, memanen sawit bukan saja capek karena bekerjanya yang menguras tenaga. Lebih dari itu, harga sawit yang turun drastis akhir2 ini begitu menambah letih yang memerihkan para petani sawit di KampungKu khususnya.

Tak ingin Ku terlalu lama mengganggu istirahat Abak. Memanfaatkan jeda yang membuat kami saling terdiam, Ku menghela nafas mencoba mengeluarkan kata2 yang dari tadi tertahan di lidahKu yang kaku.
....."Bak, Bet Sayang Samo Abak."
Sontak beliau jadi salah tingkah. Berusaha untuk membalas kata2Ku, berucap kata2 yang selama ini hanya menjadi perbuatan yang esensial dari kata itu. Namun, belum menjadi kata yang akrab di lidah dan telinga kebanyakkan keluarga di KampungKu.
Tak mau kelihatan kagetnya, belaiu kemudian berkata: "Abak... Jugo bet."

Begitulah percakapan kami berakhir.
Namun, tidak akhirnya membuatKu dengan cepat memejamkan mata menyambung mimpi demi mimpi yang menunggu. Mungkin juga begitu dengan Abak. Detakkan jantungKu mulai terdengar sayup2 ibarat fatamorgana dikejauhan yang mulai menghilang.

By: Betri Wendra

Cerita Lama

Suatu hal yg tak pernah pupus dari ingatanku. Waktu itu ku masih SMP kelas 2. Senang bangat, karena untuk pertama kalinya tulisanku dimuat di koran dan di baca banyak orang di provinsi tempat ku lahir.

Sejak saat itu, tulisan2 ku mulai acap muncul di koran dan majalah yg cukup populer waktu itu.
KampungKu
Dorongannya bukan saja sekedar hobi, namun lebih karena beberapa lembar rupiah yg selalu terselip dalam amplop putih itu.

Tak main sesaknya nafas ini, saat ku melihat namaku tertulis paling atas di deretan tulisan karya pelajar sekolah menengah waktu itu.
Namun, waktu tak memberiku hari-hari yang panjang tuk membiarkan hatiku terbuai di atas ayunan sanjung puji yg mulai sayup2 sampai ke telingaku.
Karena beberapa hari setelah dimuatnya puisi pertamaku itu. Aku di panggil ke ruang majlis guru tuk menjelaskan makna dibalik puisi itu.
Ku tersentak saat ku sadari, tulisan itu telah membuat guru-guruku mendapat banyak pertanyaan dari guru-guru sekolah lain yang menganggap tulisan ku itu menggambarkan sosok guru yang pendendam.
Kejadian itu sungguh memahat tulisan-tulisanku berikutnya menjadi lebih halus.

Walau begitu, orang-orang terdekatku adalah yang paling tak tahu Aku waktu itu (mungkin juga sampai detik ini), karena bagiku tak pantas saja tuk berlagak dihadapan mereka.
Bahkan saat ku meraih tropi berpahatkan Juara II lomba Renang tingkat provinsi disusul nominasi 10 besar karya ilmiah tingkat remaja nasional dan banyak lagi yang tak mereka tahu tentang aku. Ku merasa cukuplah Aku yang bukan siapa-siapa di mata mereka (karena memang ku bukan siapa-siapa, :-)).

Lain di hulu lain di seberang,
lain dulu lain sekarang.
Sekarang, satu buku rahasiaku ditangan mas Edi (bukan nama sebenarnya). satu halaman tlah ludes dibaca, jemarinya mulai membolak-balik halaman demi halaman, sementara raut mukanya yg tipis menunjukkan mimik yg tak menentu. kadang senyum sembringah, namun lebih sering ku lihat matanya berkaca-kaca.

Pada mas Edi ku tak bisa menjanjikan banyak. Apalagi buku bertuliskan tulisan di lembar-lembar terakhir itu. Mungkin waktunya saja yg belum tepat.

By: Betri Wendra

Hari 1 di KSBN

Sore itu, Aku latihan Suling bambu di sebuah komunitas music.
Seperti biasa, sejak 2012, Ambarukmo Hotel menyediakan fasilitas khusus bagi komunitas pecinta music tradisional ini, berupa tempat latihan yg cukup nyaman "Pendopo Agung Ambarukmo", Coffee break, dan lainnya.

Latihan berakhir menjelang Adzan magrib. Aku dan beberapa teman memutuskan tuk shalat magrib di mushalla hotel yg tak jauh dari pendopo.
Cukup rame yg shalat di sana. Sepertinya tamu2 hotel dan pengunjung plaza Ambarukmo memilih tuk shalat di sana juga.
Semua jemaah telah berdiri rapi. Hanya beberapa orang saja yg masih berwudhuk.
semua pasang mata saling mempersilahkan orang yg di sampingnya tuk menjadi imam. Hanya Aku belum kebagian tawaran. Mungkin celana Jeans yg Ku pakai tlah cukup menjadi alasan bagi mereka tuk tidak menawari Aku, atau mungkin juga karena ujung2 rambutKu yg kini mulai akrab dengan bahu Ku. Entahlah....

PikirKu mulai melayang. menembus tahun2 yg tlah berlalu. Saat Ku tak bisa memilih dalam menjalani hidup. Hanya patuh pada takdir yg menyeretku ke tempat yg kelak sangat Ku syukuri.
Saat, dimana Ku memulai perjuangan tuk bisa Kuliah, dg menumpang hidup di masjid2 negeri kota tercinta.
Keseharian yg benar2 baru bagi Ku, mengayun sapu, membros toilet masjid, menggelar tikar, mengumandangkan adzan, hingga mengimami shalat. Semuanya jd biasa seiring waktu.

Sentuhan lembut dan lirih suara teman di samping membuyarkan lamunanKu.
"Monggo mas..." katanya mempersilahkan Ku maju, diikuti beberapa orang lainnya. Entah kenapa Kakiku mulai saja melangkah, mengambil posisi imam.
Kini, semua tlah berdiri rapi. Tanpa diperintah, Jemaah yg tepat berdiri di belakang ku mengumandangkan Iqomat. Ku layangkan pandangan ke arah jemaah, terlihat seorang bapak memisahkan diri dari jemaah dan sepertinya akan shalat sendiri.

Shalat berakhir, Ku rasakan ketenangan benar2 menyelimuti kami.
Sambil berzikir, Ku lihat bapak2 yg tadi shalat sendirian duduk rapat disebelah jemaah di shaf belakang. Sepertinya dia ikut berjemaah jg bersama kami.

Ku mulai melangkah, hampiri sepatu sport yg dari tadi menunggu ku di Pintu keluar.
Belum selesai Ku memasangkan tali2 sepatu, bapak2 yg munculkan tanda tanya diotakku tadi duduk disampingku, menyapa dan kamipun hanyut dalam perbincangan yg akrab.
Ternyata benar apa yg ku pikirkan. Awalnya, karena si bapak melihat sosok gondrong dg celana jeans jadi Imam, si bapak memilih tuk shalat sendirian. "setelah saya dengar bacaan jendengan, saya milih tuk ikut berjemaah" kata si bapak mengulas ceritanya.
Ku hanya bisa tersenyum mendengar cerita si bapak dan menjawab:"kebetulan ja pak e...".Si bapak tetap saja bercerita, sesekali pujian yg sama terlontar dr mulutnya. Kami trus melangkah menyisiri taman-taman hotel yg semakin indah di bawah cahaya lampu taman yg tertata apik.




By: Betri Wendra

(Photo: Photografer KSBN)

AKU YANG KONTROVERSI.... Katanya!!!

Dianggap Aneh, Kontroversi. Itulah penilaian mereka terhadap Ku.
Ku akui, tidak sedikit pemikiran bahkan tindakkanku yg besebrangan dengan kebanyakkan orang. Bahkan pernah seorang Dosen memiringkan jari tunjuk di keningnya, tuk menggambarkan penilaiannya terhadap ku. Walau kemudian beliau menyadari kesilafan itu. Pada dasarnya, pemikiran dan tindakkan itu bukan sesuatu yg sengaja ku adakan, namun memang begitulah adanya.

Mungkin banyak orang yg tidak suka dengan apa yg aku tulis di sini.
Bagiku kita hidup di dunia ini hanya sendiri. Keluarga, karib kerabat dan semua orang yg pernah dan akan kita kenal hanyalah ujian buat kita.

Dulu ku percaya Sahabat, kekerabatan dan semisalnya itu nyata adanya. Waktu jua yg kemudian menunjukkan kepada Ku, mereka semua tak lebih dari ilusi yg didengung-dengungkan para pemuja sosialis (lebih tepatnya: penjilat bermuka seribu) dan segerombol orang-orang manja yg tak mampu tegak dg kakinya sendiri.

Tapi, jangan salah sangka. Walau ku tak percaya akan keberadaan seorang Sahabat. Namun Ku sangat hati-hati menjaga hati orang-orang di sekitarku. Ku sangat kuatir jika kata-kataku menyinggung perasaannya. Pastinya ku bukan mereka yg giginya lebih lunak ketimbang lidahnya saat beraksi menipu mangsa.
TanganKu juga tak terkalung di leher, saat ku bisa menjulurkannya semampuku.
Jujur, Ku lebih suka membisu, jika perkataanku akan tidak disukai.
Ku lebih memilih tak menatap mereka, karena hanya akan membuat mereka songong.
Karena tak ada kebenaran yg baku di sini.

Begitu jg keberadaan kerabat bagiku. Walau ku tak meng-ada-kan mereka (istilah seorang guru alam). Namun, Ku selalu membagi senyum terindahku, selalu berharap bisa berbuat yg terbaik buat mereka. Ku bukan dia yg dengan nyata telah diubah nasibnya oleh yg maha mengubah nasib, dari penjaja tak bersandal hingga kini berkalungkan titel dan kemewahan. Namun sayang tak banyak yg bisa dia bagi untuk orang kampung yg selalu mengelu-elukannya.

Ku jg sendiri tanpa keluarga. Bukannya ku tak cinta keluarga, bahkan ku sangat dicemburui oleh saudara2ku. Namun, seperti yang ku tulis, ku hanya ingin menjaga perasaan mereka.

Kau yg bermuka minyak... Tak usah kau pahami kata-kata ini.
Percuma, kau takkan mengerti, dan mungkin takkan pernah.

By: Betri Wendra