Rabu, 02 September 2020

Runtuhnya Adat Kami

 Dinginnya Selasa Malam [090214]


Langit kota masih pekat menghitam. Namun tak menyurutkan niatku pulang kampung malam ini. Butuh dua jam mengendarai sepeda motor dari kota Padang ke kampungku, Bayang. Magrib, aku masih di kota. Ku pikir-pikir lagi, kalau-kalau ada yang terlupa. "o ya pesanan Hendra, kartu perdana." Motorku melaju pelan menyisiri jalananan yang telah disiram hujan sore tadi. Tak sulit menemukan konter hp di kota ini. Kartu perdana sudah di tangan. "Semua sudah beres", batinku. 


 Magrib baru saja usai. Bunyi kendaraan masih riuh menemani dinginnya senja. Warna-warni lampu kota menjadi hiburan yang sedap di pandang mata. Aku tebar pandang ke sekeliling. Tampak muda-mudi berpasang-pasang mengendarai motor. Di depanku jembatan Seberang Padang. Pandangku terpaku. Sepasang kekasih terlihat berpeluk mesra di trotoar kiri jembatan. "Sepertinya yang cewek masih SMP," gumamku. Tidak jauh dari jembatan, orang-orang masih bersileweran hilir-mudik seolah tak "ngeh" dengan mereka. 


Sepanjang jalan hatiku menggerutuk. Berusaha meyakinkan diri, kalau ini masih tanah Minang. "Eee udah nyampe Gaung," aku tersadar melihat simpang empat Gaung, persimpangan utama menuju kampungku. "Gaung mang gak pernah sepi." 


Gaung lewat, pantai Telur Bayur pun menyambut. Suguhan pemandangan yang luar biasa. Kerlap-kerlip lampu kapal. Desiran ombak yag berkejar-kejar. Deretan bukit baris-berbaris memagari laut lepas hindia. Motorku menyisir melewati jalan mulus di sepanjang kaki bukit yang menghadap langsung ke laut lepas. Kiri bukit, kanan laut dibawah jurang nan dalam. "Luar biasa," decapku kagum. 


Sejauh dua kilometer aku melewati bukit lampu. Pasangan muda-mudi yang dari tadi beriringan denganku satu-persatu telah berkelok ke pondok-pondok berlampu remang yang banyak dibikin di kiri-kanan bukit ini. Di setiap pintu masuk pondok, terlihat satu dua orang memegang senter. Setiap motor yang lewat selalu kebagian sorot cahaya senter mereka. Sepertinya ini semacam trik memanggil pelanggan. Ingin rasanya aku singgah barang sepuluh duapuluh menit. Untuk sekadar pelepas rasa penasaranku. Ngobrol sepatah dua patah dengan pemilik pondok. Atau mungkin bisa menikmati desahan nakal dari bilik-bilik pondok remang itu. 


Bukit lampu telah berlalu. Di kiri jalan aku disambut Masjid Muhammadiyah nan gagah. Tepat berseberangan dengan gapura pelabuhan Bunguih. Tak lama lagi aku akan melewati satu bukit lagi. Bukit perbatasan kota Padang dengan kampungku Pesisir selatan. Sensasinya akan sedikit berbeda dengan bukit lampu, gelap mencekam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...