Rabu, 11 Juni 2014

Burjo Si Antok

Oleh: Betri Wendra S

Ini adalah ceritaku, tentang seorang pemuda yang cukup menginspirasi. Ini bukan tentang kesuksesan materi, atau prestasi akademik. Sama sekali tidak. Dia hanya seorang penjaga warung Bubur Kacang Hijau (Burjo) dekat kos-ku. Orang-orang memanggilnya Antok, asli Kuningan. Sehingga tak jarang juga yang memangilnya "Aa'". Dia-lah pemuda inspirasi yang ku maksud. Pemuda dari negeri Pasundan, negeri nan elok, yang kemolekkannya sering ku intip lewat roman-roman klasik.

Aku sering makan di Burjo Antok ini. Habis tadarus subuh, bakwan panas Antok memanggil-manggil untuk di lahap bersama rawit hijau. "wuuiiisshhh... hotttss...". Dan tidak lengkap jika tanpa semangkuk bubur kacang hijau campur ketan plus susu ala Antok. "Enak niannn....". Disela-sela menikmati racikan masakan Antok, aku sering mengamati bagaimana Antok belajar dari para pelanggannya. Kalau bicara pendidikan, Antok memanglah kurang beruntung. Suatu kali, di siang bolong kala burjo Antok lagi sepi, aku pernah bertanya sama Antok, "Tamat apa mas?". "SD mas", jawab Antok dengan malu-malu. Aku melihat matanya agak berkaca. Aku merasa ada sedikit penyesalan di hati Antok, yang selalu di simpannya dalam-dalam. Aku tak sampai hati meneruskan tanyaku. Ku coba alihkan cerita. Mengeluarkan kata-kata penyemangat, dengan tetap menggigit lidah agar tak terkesan menggurui. Aku terus bercerita, penuh semangat. Matanya yang tulus berbinar, bak seorang pelajar yang lagi khusuk mendengarkan petuah sang guru.

Antok, seorang penjual yang sangat sabar melayani pelanggannya. Walau ulah pelanggan sebanyak rambut di kepalanya, yang tak jarang membuatku geram sendiri. Namun, bukan Antok orangnya jika tak memberi senyum. Senyumnya begitu mampu menahan hatinya untuk tetap sabar. Dalamhal ini, aku benar-benar tunduk kepala padanya. Selain sifat Antok yang sungguh cool habis, dia juga tipe orang yang gigih, tak mau ketinggalan dari orang-orang. Dia selalu menyempatkan untuk membaca, apa saja. Internatan, jangan tanya. Disela-sela mengaduk mie rebus pesanan pelanggan, Antok dengan sigap memainkan jemarinya di layar gadget canggihnya. Kalau masalah gadget, sekali lagi aku tunduk kepala plus angkat tangan deh sama aa' satu nih...

Minggu, 08 Juni 2014

PEROKOK, Kaum Mayoritas Yang Tertindas di Negeri Sendiri

Penulis: Betri Wendra S. [19 Maret 2014]


Aku terlahir dari keluarga (bukan) perokok. Bapakku dan bapaknya bapakku (kakekku) mengaku tak pernah merokok (setidaknya begitulah yang ku lihat). Bahkan tidak mustahil Bapaknya Bapaknya Bapakku, dan terus ke atas juga bukan seorang pencandu rokok. Intinya keluargaku adalah (bukan) pecinta rokok sejati.

Pernah suatu kali aku merokok, waktu itu dipenghujung kelas tiga SD. Tepatnya dua tiga hari setelah sunatan. Aku bersama delapan orang teman lengkap dengan sarung masing-masing, maengkang sambil tangan kami menjauhkan bagian sarung yang dekat ke bagian yang disunat. Pagi itu destinasi kami adalah tapi aia (Minang: tepi air) dekat parak (Minang: ladang) pak si Uk. Alasannya sungai di sini lebih berpasir, sehingga cocok untuk kami berjemur mengeringkan bagian yang masih meruyak. Tidak itu saja, entah dapat ide dari mana dan entah keluar dari suara siapa pertama kali, kami mencari batu kali yang mulus untuk di jepitkan ke barang berharga kami ini. Inilah yang kemudian hari menyadarkan aku bahwa dulu aku pernah kanak-kanak, dengan  ngakak habis pastinya.

Tidak berhenti sampai di situ, kegilaan yang dengan sadar kami lakukan terus berlanjut. Bisikan-bisikan aneh terus bermunculan di otak-otak kami, anak-anak kampung. Konon katanya rokok bisa melekas sembuhkan bekas sunatan (dikemudian hari ide ini kuutarakan kepada seorang teman, dokter). “Wah, gilo ko” pikirku, “kalo abak den tau, mati den”, aku terus beralasan. “Dak kompak waang ko do”, seru seorang teman, “dak laki-laki waang kalo indak marokok do”, fatwa teman yang lain. Debat CaPreS (Calon Preman Simpang) ini terus berjalan, sementara beberapa dari kami telah menukarkan uangnya dengan sebungkus rokok berwarna kekuningan. Karena perdebatan berujung alot, kesunyian mulai mengerayang, wajah-wajah polos di depanku mulai menunjukkan ketidaksenangan, bibir mereka mulai tidak simestris. Terang saja pemandangan ini membuatku risau akan dikucilkan. “Oke, Samsu duo batang tek”, ucapku memutus kebisuan. Semua capres akhirnya bertepuk ria, sumringah senyum mereka menyunggingiku.

Itulah dua batang rokok yang asapnya pernah menyelinap ke trakeaku, berembus menggerogoti pulmoku, dan akhirnya berlabuh ke alveolus. Di sinilah nikotin dan teman-temannya membuat makar sebelum akhirnya berenang di aliran darahku, membunuhi cacing-cacing di ususku, dan mungkin juga mempremankan sel-sel tubuhku yang dilaluinya.

Belasan tahun pasca pemerkosaan hak anti rokok itu, tepatnya di sini di atas kursi empuk dengan meja bundarnya ini. Sambil duduk manis aku meringis, berbela sungkawa atas terbunuhnya hak saudara-saudaraku kaum perokok. Karena hampir setiap sudut (setidaknya) di kampus ini melototin perokok sambil bilang: “Kawasan Bebas Rokok” atau “Maaf, Dilarang Merokok di Sini”. Lebih parah lagi, pohonpun seolah mendukung mengusir para perokok, mereka rela di pakukan pamphlet-pamflet bertuliskan usir perokok.

Sebagai kaum (tidak) perokok, aku sedih dengan kenyataan ini. Pasalnya aku banyak berguru kepada perokok. Aku banyak mengagumi orang yang (kebetulan) suka merokok. Seandainya saja aku Capres (calon presiden), akan ku janjikan kepada kaum perokok untuk membangun sejuta bilik tempat merokok, lengkap dengan wifinya.

Photo: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBAFFomZwjfYH90wR13t_Y1W1KyczL_RbmjmM9Cha1b1sQEy6Pxgfe_mkUtKbhBckIe8meUVzcERY62ot7np8RCMa71epKYSpdd-9eUxTFg7lmupKbq6SriS1dKlKTSruMF8gtQqcabP0E/s1600/asapnya+ditelan.jpg

Aku, Biolaku, dan Dia

Oleh: Betri Wendra S
[27 Maret 2014]

Saat dunia berlari menjauhiku, kau selalu mendekat dan mendekapku. Saat semua-mua mulai membosankan, kau selalu mengalirkan nada-nada terindahmu tuk bangkitkan jiwaku. Kau begitu setia dipelukkanku, berdetak mengiringi jantungku, mengalir di sepanjang nadiku.
Namun kini, saat dunia mulai melenakanku. Ku tak sempat walau sekadar mengelusmu, sekadar menyeka kulitmu yang berdebu. Duh jiwa, Aku rindu saat-saat sore menggendongmu mengantarkan mentari ke peraduannya. Aku rindu saat-saat lena meniup suaramu nan merdu, menggesek dawaimu, menyatu dengan nyanyian nan mengiris-iris hulu hati.
Yakinlah suatu saat kita kan selalu bersama, tidak hanya kita, juga Dia.

"Diary"

Oleh: Betri Wendra S
[31 Maret 2014]

Akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan urusan perkuliahan, rutinitas sehari-hari, bahkan dengan kesibukan yang seharusnya tak membikin sibuk. Sehingga tak sempat ke tukang jahit mengantarkan celanaku yang telah lama sobek dibagian lutut. Sampailah di suatu pagi sabtu kemarin. Menurut buku agenda siang itu aku mesti ke Magelang untuk keperluan pemotretan interior taman. Aku memutuskan untuk menjahit sendiri celana kesayanganku itu. Siang itu aku pergi sendiri bermodal motor pinjaman, maklum belum cukup duit buat beli. Di tengah perjalanan, aku teringat beli oleh-oleh buat teman di kos. "Salak ajalah" pikirku. Kebetulan di situ emang daerah penghasil salak. Di sepanjang jalan pulang ku perlambat laju motor sambil melirik-lirik tempat yang cocok.

" e ee .... kelewat", Satu dua unggukan salak telah terlewat. Motor terus melaju, pikiranpun gusar merutuki motor yang tak spontan berhenti di tempat yang sesuai. Kali ini aku lebih mawas, dan bentul saja tak jauh dari titik perutukkan terakhir, unggukan salak pun menanti.
Penjualnya nenek-nenek tujuh puluhan. Aku mulai tertarik dengan cara si nenek memulai penawaran. "Beli lima ribu nek", ucapku menjawab tawarannya. Sambil pilih-pilih ku tanyakan dimana rumahnya. "Di sana mas" jawab si nenek sambil menyunggingkan bibirnya yang tak lagi berisi itu.

Rasa haru menyelusuk begitu saja ke hatiku. Ku hitung-hitung lembaran yang ada di dompet dengan penerawanganku. Di ujung penerawangan ku tersadar "Wah, masing-masing lembar sudah bukan lagi milikku". "sepuluh ribu aja nek", ucapku memutus lamunan. Si nenek dengan sigap memasukkan salak-salak yang sebenarnya agak berlumur debu kelud itu. Satu asoi penuh. "Kok banyak bangat nek?", Timpalku menyangsikan tingkah si nenek. "Ora opo-opo mas", jawab si nenek yang dari tadi menancapkan tatapannya ke jahitan di lututku.
Otakku mulai mengira-ngira, kenapa?. Kok malah si nenek yang kasihan melihat pakaianku, yang mungkin memang pantas untuk dikasihani ini.

"Ikhlaskah Aku?"

Oleh: Betri Wendra S
[13 April 2014]

IKHLAS. Jelas mudah dikatakan, namun teramat sulit dikerjakan. Di masjid kampus ugm pagi ini, seorang ustadz bercerita perihal ikhlas:
....Saat imam Nawawi mendengar orang-orang menggelarinya "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama) karena tulisan-tulisan beliau yang kembali menggairahkan keber-agama-an umat kala itu, beliau berkata: "Aku tidak ridho, bahkan sampai kiamat akan aku tuntut orang yang memberiku gelar muhyiddin"....
Ini lah contoh orang yang paham dengan ikhlas. Begitu paham dengan kata-kata nabi tentang tiga golongan umat yang pertama kali akan dihisab di hari kiamat kelak, yakni SYUHADA, ULAMA/QORI, DERMAWAN. Saat Allah ta'ala menerangkan kelebihan-kelebihan yang telah dikaruniakan, merekapun meng-iyakan. Kemudian ditanya: "Untuk apa kamu lakukan itu semua", mereka menjawab: "Aku berperang di jalanmu hingga mati syahid, Siang-malam aku menuntut ilmu dan mengajarkannya demimu, Tidaklah aku belanjakan hartaku kecuali ikhlas karenamu... ". Namun, Allah berkata: "Kalian BOHONG, itu semua kalian lakukan agar kalian digelari syuhada, 'alim, dan dermawan".

Aku kembali diingatkan, dan aku merinding mendengarnya. Bisa jadi kini aku menulis, dan kelak ditanya "untuk apa kamu menulis", dan aku menjawab: "aku menulis untuk menyampaikan kebaikan, untuk dakwah, agar orang mendapatkan keinsyafan setelah membacanya", akan tetapi Allah menjawab: "BOHONG!!!! kamu menulis agar dipanggil pujangga, seniman, supaya di-like orang-orang, agar dianggap terpelajar, orang baik".....

Sesal Tak Kunjung Usai

Oleh: Betri Wendra S
[15 April 2014]

Dalam keheningan, air mata tumpah,
pun sesal tak kunjung punah.
Walau penat muka menengadah,
ampunan tak jua jadi berkah,
karena Dia ogah memapah....

Takkan lagi Tuhan,
cukup hanya Dia tumbal angkara
korban keparat yang dulu meraja

Baru Dia Rabbi...
Itupun telah melahap habis kulitku yang dulu utuh,
memorak-porandakan sendi-sendi imanku,
mengikis habis tanda sujudku,
terbang berhamburan,
pupus ditelan keangkuhan,
meruap tak berbekas....

Takkan lagi....
Remukkan saja hati ini bila lupa merintih,
patahkan saja kaki ini bila tak mau tertatih,
Jangan biarkan diri ini berdosa lagi, Rabbi......

Photo: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglvzThSk1uSbWch7HF83MAnlWFfeSrckvS8D70JU3TGQ0bKEg8Jdv_7acXtgeiuX7VL3Sccisfu4T7gyZ-J1SOEiwp8V42XRzY__aGXw3HzMDYhksXJ2deCsH8OegqWsu5fEtQKIs28o8T/s1600/Agar+Tidak+Menyesal+Dari+Kesalahan.jpg

Asa Yang Terputus Di Awal Hari

Penggalan Cerpen
Oleh: Betri Wendra S.
[21 Mei 2014]


Baru dua jam berlalu saat Niko meninggalkan gerbang sekolahnya, SMAN 1 Kota Jambi. Hari itu adalah hari yang sangat menentukan bagi siswa kelas duabelas seantero negeri pertiwi. Lulus atau tidak telah ketuk palu, berdasarkan hasil ujian yang tiga hari itu. Siang itu hanya suka cita yang dilihatnya. Beberapa yang tidak lulus tersurut padam menyembunyikan kesedihan yang menggelegak di dada mereka. Tergilas arus sorak-sorai kesenangan. Terpinggirkan oleh keangkuhan cerita teman sekeliling yang telah diterima di universitas kenamaan. “Kamu lanjut kemana?”, Tanya seorang teman memecah lamunan Niko. “Belum tau”, jawab Niko sekenanya, sambil tetap menutup rapat apa yang beberapa hari ini mengganjal di benaknya.

Masih segar terngiang di telinganya. Pembicaraan empat mata sepekan lalu, dengan kakak perempuan yang sudah tiga tahun ini menyekolahkannya. Niko benar-benar terhenyuk saat kakaknya mengeluarkan kata dengan nada menyesal, “Kalau waang nio kuliah, Uni yo ndak bisa membiayai kuliah waang do. Cubolah tanyoan ka Abak jo One”. Sejenak Niko terdiam, bibirnya bergerak namun kelu, kaku. Tak satupun kata keluar dari mulutnya hingga kakaknya berlalu. Dia hanya mampu mengerahkan daya yang tersisa untuk menahan air matanya agar tidak tumpah, setidaknya untuk saat itu. Dia sadar betul, keinginannya yang besar untuk melanjutkan pendidikan, kuliah di kampus yang diidamkannya pupus sudah. Biaya dari orang tua tidak mungkin diharapkannya. Sisa kebangkrutan akibat peralihan sistem dari orde baru ke reformasi masih melumpuhkan perekonomian orang tuanya.

Sejak itu Niko mulai berubah. Dia tak lagi banyak bicara. Hanya dalam keheningan, di hadapan Tuhannya Niko menumpahkan sesak di dadanya. Membiarkan air matanya menganak, mengalir menyisiri kulit wajahnya, hingga jatuh ke sajadah tempatnya bersungkur.

Photo: https://www.facebook.com/Smansa.Jambi/photos/pb.44906564421.-2207520000.1392815704./69978124421/?type=1

Bingkisan Do’a untuk Angku Tercinta

Dari: Betri Wendra S.[30 April 2014]


Kematian merupakan suatu ketetapan Tuhan, Allah ‘aza wajal terhadap manusia. Manusia datang silih berganti, ada yang lahir pun ada yang mati. Dan suatu saat, entah dibilangan tanggal, jam, menit serta detik keberapa pun kita akan mengalami kematian. Kita kadang lupa, akan datang masanya jantung ini akan berhenti berdenyut, darah berhenti mengalir. Seonggok daging yang selalu kita bawa kemana pergi ini, tidak lebih dari bangkai yang akan membusuk dan santapan empuk bagi cacing beserta kloninya. Tak kepalang kesakitan yang akan kita rasa, saat ruh meninggalkan jasad. Ada yang bilang sakitnya seperti leher diiris-iris belahan bambu dari ketinggian sehingga semua nadi terputus saat jatuh ke tanah. Ada juga yang mengatakan perihnya kematian ibarat kulit dikelupas hidup-hidup, lalu disirami air asam. Jelas ini tidak berlebihan. Kita bisa bayangkan betapa sakit gigi saja begitu menyiksa, Disayat pisau dapur,  perih tak kunjung pudur. Apalagi kematian yang merupakan kesakitan di atas kesakitan, perih yang berlapis-lapis.

Walau bagaimanapun akrabnya kita dengan kematian, tetap saja menjadi sesuatu yang aneh jika orang terdekat sendiri yang mengalaminya. Seperti kabar yang ku dengar pagi ini, salah seorang mamak kontan (paman dekat) kami dipanggil yang maha kuasa menghadap kehadirat-Nya. Angku Akmal, salah seorang mamak terbaik kami. Semua anak kemenakan sangat mencintai dan menghormati beliau, bangga bermamakkan angku Akmal. Beliau sosok mamak yang adil, ibarat kata orang minang: “tibo di mato indak dipicingkan, tibo di paruik indak dikempiskan”. Aku belajar banyak dari beliau, kearifan yang tiada tanding. Aku yakin, Allah ta’ala sangat mencintai beliau, ingin segera merangkul dan membawa beliau ke singgasana kemuliaan, di keabadian. Do’a kami menghantar kepergianmu, angku…

Satu-persatu pergi, dan
entah siapa lagi nanti.
Mungkinkah suatu saat nanti,
kita kan bersama lagi.
Dalam kedamaian, cinta kasih tak terperih.
Di surga firdausi…