Rabu, 30 April 2014

Moment Teridah

Oleh: Betri Wendra S.
24 Nov'12
Kehidupan memang tak bisa ditebak. Konsep Phi pada Matematika benar-benar menggambarkan roda kehidupan yg terus berputar. Waktu kecil, kita begitu polos, tak pernah terbayangkan akan jadi apa kita nanti. Itulah hidup, penuh dengan misteri, sejarah abu-abu, fakta yang terkadang seperti mimpi dimusim hujan.

Kali ini, ku ingin menulis sebuah moment yang sangat-sangat sulit untuk saya lupakan. Betapa tidak, sosok yang biasanya hanya bisa ku lihat, ku kagumi setiap aksinya di balik layar kaca, sekarang hadir di depan mata, berbagi cerita, bisa memijit kakinya, bahkan bisa tidur di sampingnya. benar-benar sesuatu yang luar biasa bagiku. Pertemuan pertama terjadi pada tahun 2005 dan selanjutnya di akhir tahun 2007.

Kang Gito, begitu lah beliau biasa dipanggil. Pemilik nama asli Bangun Sugito, kelahiran Biak, Papua 1 November 1947 ini merupakan seorang Rocker sekaligus aktor. Beliau pernah main dalam film KERETA API TERAKHIR dan JANJI JONI, yang kemudian mengantarkannya meraih piala Citra aktor pembantu pria terbaik. Nama kang Gito yang pada awalnya dikenal sebagai rocker, kemudian menghilang dari peredaran panggung rock Indonesia. kang Gito kemudian muncul menjadi seorang da'i (juru dakwah), yang kerap tampil dengan pakaian putih dan nampak lebih bijaksana.

Menyisiri perjalanan hidup kang Gito, sungguh sebuah skenario kehidupan yang dahsyat. Beliau becerita panjang tentang masa-masa kelam yg cukup lama dilakoninya. Pernah suatu ketika, setelah selesai ujian akhir di Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Beliau bernazar pada teman-temannya: " Jika saya lulus, saya akan keliling kota Jakarta dengan telanjang". Benar saja, karena ternyata beliau lulus, dan tanpa ragu berkeliling Jakarta dengan MoGe nya, tanpa sehelai kainpun ditubuh seperti janjinya.

Sebenarnya sangat panjang untuk diurai satu-persatu kisah seorang Gito Rollies di sini. Setidaknya Ku telah menulis kisah beliau dalam sebuah buku yg berjudul "Perjalanan Hidupku". Cukup tebal untuk sebuah Diary. Singkatnya Kang Gito sangat istimewa bagiku, karena kesempatan bisa mengabiskan malam bersama dengan cerita-ceritanya yang inspiratif dan penuh humor juga bukan hanya satu kali, tapi lebih. Bahkan saat-saat sakit berat yg kemudian merenggut nyawa beliau, pun masih sempat bertemu dan belaiu masih belum memenuhi satu janjinya pada ku, untuk berangkat bersama ke Mentawai.

Selamat jalan Kang Gito.
Sungguh, bukan kepergianmu yang membuat tangis hati ini. Ketidakpastian bisa berakhir sepertimu lah yang sungguh merisaukan.

Photo: http://tvguide.co.id/static/images/photos/523d8a9f78c9e22.jpg

Mengatasi Kenakalan Orang Tua

Oleh: Betri Wendra S.
26 Jan'13

Bahasan yg cukup menggelitik. Diawali dengan Kisah seorang Bapak yg mengadu kepada Khalifatur rasulullah Umar ibn Khattab ra.

Kaduannya tentang anaknya yg duharka. "Wahai Umar, Tolonglah nasehati anakku, sungguh ia telah mendurhakaiku", kata si Bapak sambil terus menceritakan apa yang telah diperbuat si anak terhadap dirinya.
Setelah pengaduan selesai disampaikan, Umar bersama2 dg Bapak tersebut mendatangi si Anak. "Duhai fulan ibn fulan takutlah kamu kepada Allah karena mendurhakai orang tuamu", Umar memulai nasehatnya terhadap si Anak. Sebelum Umar lebih jauh menyampaikan nasehatnya, Anak tersebut menyela Umar dengan berkata:"Duhai khalifah Rasulullah, sebelum engkau meneruskan nasehatmu, Aku ingin menyampaikan hal ku. Selain kewajiban seorang anak berbakti dan patuh terhadap orang tua, adakah kewajiban orang tua terhadap anaknya?" Umar menjawab:"Ada! Diantaranya: Mencarikan calon ibu yang baik, memberikan nama yang baik, dan memberikan pendidikan dunia-akhirat buat anak2nya".
Dengan berlinang air mata, si Anak berkata:"Duhai Khalifah, Demi Allah! Bapakku tidak menunaikan kewajibannya terhadapKu. Dia memilih wanita yg tidak baik yg sekarang jd ibuku, memberiku nama dengan nama seekor serangga yg biasa hidup di tempat kotor, dan tidak pernah melengkapiku dengan pendidikan yg layak sebagaimana anak2 lainnya". Si Anak tidak putus2nya menyampaikan kegundahannya. Akhirnya, Umar balik memarahi si Bapak yg telah melalaikan kewajibannya itu.

Pembahasan semakin sempurna dengan rincian yg panjang mengenai 6 perenungan yg mesti ada pada diri kita yg akan dan telah menjadi orang tua dari anak2nya, mulai dari Adakah keikhlasan dalam membuang anak?, Anak tetangga, anakku juga, hingga piranti teknologi, antara kebutuhan dan keinginan.

GHARIB

Oleh: Betri Wendra S.
13 Feb'13

Sudah terlalu lama pemuda seperempat abad itu mematung. Matanya berbinar, sepertinya beban pikiran begitu liar berkelabut di keningnya.
Malam semakin larut. Ia mulai bersandar ke dinding teras masjid yang sudah dari tadi tak berpenghuni. Ini bukan kali pertama baginya merenung dalam-dalam tuk menemukan kepuasan bathinnya. Namun ini beda, Ia sedang menanyai dirinya.

Mengapa seorang gadis begitu murahnya memperlihatkan sesuatu yg sangat berharga itu pada dirinya.
ya, sesuatu yg sangat berharga. Bahkan sungguh berlian sebesar telur angsa sekalipun, tak seujung kuku jika dibandingkan dengannya.
Padahal baru tadi pagi Ia berkenalan dengan wanita itu. Wanita yang ramah, pemilik wajah cantik yang gak mungkin lelaki manapun, hanya cukup dengan memandangnya hanya dengan satu kali tatapan penuh kagum mereka.
Sepertinya wanita itu anak orang berada. Sungguh jelas dari tingkahnya yg blak-blakan dengan sedikit manja yg gak bisa wanita itu sembunyikan.

Sebenarnya, Ia bukanlah seorang pemuda luar biasa seperti sosok yg pernah dibacanya dalam kisah-kisah orang shalih yg tidak jadi berzina dengan seorang wanita yg mengajaknya tuk berzina. Karena ingat janjinya dengan Rasulullah, untuk tidak berbohong. Orang shalih itu malu kalau harus jujur dihadapan Nabi, "Aku telah berzina". Hingga akhirya orang shalih tsb gak jadi berzina.
Hanya saja, kisah kelam yg pernah dialaminya begitu membuatnya merintih barkali-kali di kegelapan malam. Mungkin Ia tak mau lagi menambah bintik-bintik legam di hatinya.

Dinginnya malam semakin menyelimuti tubuh pemuda itu. Kali ini, mulai terdengar suara lirih: " Ya Rabb...Sungguh tak ada satupun NikmatMu yang layak Ku dustakan".
waktu terus bergulir. Mungkin Ia akan terus bersandar di sana hingga subuh menjelang.

Selasa, 22 April 2014

Runtuhnya Surau Kami (II)

Penulis: Betri Wendra S.

Jika ku kenang masa-masa itu, belasan tahun yang lalu di sebuah kampung bernama Lubuk Anau. Konon ceritanya, dulu banyak lubuk di sini dan di tepinya tumbuh subur pohon enau, itulah sebab karenanya orang-orang menamai kampung ini Lubuak Anau (dikemudian hari menjadi Lubuk Anau). Di kampung inilah aku dilahirkan oleh seorang wanita yang memesona, wanita penebar cinta dalam diamnya. Wanita yang menyadarkan aku bagaimana memperlakukan wanita, mengajarkan aku untuk mengikhlaskan.

Hembusan angin mulai terasa dingin menyentuh. Garangnya sinar mentari pelan-pelan sirna, ditelan keangkuhan bukit kuburan yang tak jauh dari "tapi aia" (sungai) tempat kami memberi minum kambing-kambing kami, bocah kampung anau. Rasanya baru saja waktu sembahyang asar masuk, sayup-sayup mulai terdengar pula suara orang mengaji di masjid, petanda sembahyang magrib tidak lama lagi. Waktu asar benar-benar pendek, sampai-sampai orang siak (alim) memaknainya dengan waktu yang singkat (Wal’ashar: Demi waktu yang singkat). Bahkan ada nasehat yang masyur dikalangan orang tarikek (sufi/tarekat), “Hidup di dunia hanya sebentar, antara waktu asar dan magrib saja”.

Di sepanjang jalan pulang, sambil mengiring kambing di belakang, kami ngobrol kesana-kemari becanda apa saja. Suasana ini teramat ampuh membesarkan hati kami, membuyarkan keletihan karena mengembala dan menyabit rumput seharian. Pun sepasukan kambing yang berjalan kekenyangan tak luput dari candaan kami. Langkah ku percepat mendekati kambing jantanku, saat dia akan melangkahkan kaki kanan belakangnya, aku sembek si kambing jantan hingga kaki-kaki belakangannya beradu dan nyaris terjatuh. “Mmmbbeeekkk” rengek si kambing jantan, kamipun terbahak seolah tak menaruh iba pada si kambing. Bagitulah candaan kami terus hingga pintu rumah memisahkan kami.

Sembahyang magrib telah usai, aku duduk manis di ubo (tempat duduk dari campuran semen dan kerikil, biasanya dibuat di tepi jalan depan rumah) menunggu teman-teman pergi mangaji. Di kampung anau, hampir semua anak-anak mengaji ke surau. Ada dua tiga surau, dan waktunya selalu setelah shalat magrib. Aku dan beberapa teman dekat rumah mengaji ke kampung sebelah, kampung Koto Jua, sekitar satu kilo dari rumahku. Karena di kampung anau tidak ada guru irama (membaca alqur-an dengan menggunakan tujuh irama, sering juga disebut tilawah), kalaupun ada, merekapun murid dari guru surau kampung Jua.

Kami hampir sampai di rumah Pak Mamek, guru mengaji kami. Sebenarnya nama beliau Pak Mahmud, akupun tak tahu kenapa beliau dipanggil Pak Mamek. Mungkin karena lidah orang kampung terlalu manja untuk bergerak atau karena tidak terbiasa berbahasa arab. Pak Mamek adalah Qori kabupaten. Kabarnya beliau pernah juara satu di MTQ tingkat kabupaten Pesisir Selatan. Beliau sangat tegas dalam mengajar. Kalau beliau sudah duduk di tengah-tengah kami, jangan harap terdengar suara barang seorangpun. Semua menunduk, pandangan tak lepas mengikuti liukan huruf-huruf di kitab alqur-an yang kami pegang. Palacuik (pelecut dari lidi yang dijalin sebesar ibu jari kaki) di tangan beliau yang selalu siap membelai tangan dan kaki kami yang bermain-main, sungguh menambah ciut nyali. Bagiku, selain Pak Mamek, ada satu lagi yang membuat jantungku tak bisa berdenyut normal, anak gadis beliau yang terkenal elok rupa dan budinya seantero kampung anau-koto jua ini. Kadang dengan mencuri-curi aku coba mengangkat kepala, melihat wajah dibalik mukenah putih itu. Walau sedetik, namun begitu lekat dan langsung bisa kulukis dalam ingatanku.

Bagi kami anak-anak kampung, berurusan dengan wanita adalah pekerjaan yang menguras habis keringat. Alih-alih akan mengutarakan rasa, bahkan untuk menyimpannyapun tidaklah mudah bagiku, begitu banyak rasa-rasa. Pernah suatu kali ku utarakan rasa itu, bibirku kelu dibuatnya, suara bergetar, badanpun menggigil hingga mata bisa kupejamkan dalam lelap.

Mungkin inilah yang membuatku sangat mengilhami kisah Amru Qois sang penggila Laila. Hingga aku bisa merasakan dinginnya angin kota Laila menembus kulit Amr Qois dan ikut memejamkan mata saat angin yang sama di kampung Jua menembus kulitku. Akupun ingin berbisik seperti halnya Amr Qois berbisik: “Bukanlah kecintaanku terhadap kota ini yang membuat aku menciumi setiap dinding di lorong-lorongnya, kecintaanku terhadap Lailalah itu semua aku lakukan. Bahkan walau anjing kurap aku temui di kota Laila, aku akan sangat menyayanginya”.

Kini, kampung anau tak lagi seperti dulu. Lubuk dan enau memang tak ada lagi. Namun bukan itu penyebab kampung anau tak lagi kampung anau yang dulu. Suasana surau yang membuat rindu, guru mengaji dengan palacuik ditangan sudah tak ada lagi. “Paga lah dianjak urang lalu” (Pagar sudah digeser orang lain, maksudnya: Adat kita telah diubah orang lain) atau mungkin kita yang telah menggeser pagar itu.

Yogyakarta, 2 April 2014 pukul 18:56
Photo: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/05/1367564524745478338.jpg