Rabu, 11 Juni 2014

Burjo Si Antok

Oleh: Betri Wendra S

Ini adalah ceritaku, tentang seorang pemuda yang cukup menginspirasi. Ini bukan tentang kesuksesan materi, atau prestasi akademik. Sama sekali tidak. Dia hanya seorang penjaga warung Bubur Kacang Hijau (Burjo) dekat kos-ku. Orang-orang memanggilnya Antok, asli Kuningan. Sehingga tak jarang juga yang memangilnya "Aa'". Dia-lah pemuda inspirasi yang ku maksud. Pemuda dari negeri Pasundan, negeri nan elok, yang kemolekkannya sering ku intip lewat roman-roman klasik.

Aku sering makan di Burjo Antok ini. Habis tadarus subuh, bakwan panas Antok memanggil-manggil untuk di lahap bersama rawit hijau. "wuuiiisshhh... hotttss...". Dan tidak lengkap jika tanpa semangkuk bubur kacang hijau campur ketan plus susu ala Antok. "Enak niannn....". Disela-sela menikmati racikan masakan Antok, aku sering mengamati bagaimana Antok belajar dari para pelanggannya. Kalau bicara pendidikan, Antok memanglah kurang beruntung. Suatu kali, di siang bolong kala burjo Antok lagi sepi, aku pernah bertanya sama Antok, "Tamat apa mas?". "SD mas", jawab Antok dengan malu-malu. Aku melihat matanya agak berkaca. Aku merasa ada sedikit penyesalan di hati Antok, yang selalu di simpannya dalam-dalam. Aku tak sampai hati meneruskan tanyaku. Ku coba alihkan cerita. Mengeluarkan kata-kata penyemangat, dengan tetap menggigit lidah agar tak terkesan menggurui. Aku terus bercerita, penuh semangat. Matanya yang tulus berbinar, bak seorang pelajar yang lagi khusuk mendengarkan petuah sang guru.

Antok, seorang penjual yang sangat sabar melayani pelanggannya. Walau ulah pelanggan sebanyak rambut di kepalanya, yang tak jarang membuatku geram sendiri. Namun, bukan Antok orangnya jika tak memberi senyum. Senyumnya begitu mampu menahan hatinya untuk tetap sabar. Dalamhal ini, aku benar-benar tunduk kepala padanya. Selain sifat Antok yang sungguh cool habis, dia juga tipe orang yang gigih, tak mau ketinggalan dari orang-orang. Dia selalu menyempatkan untuk membaca, apa saja. Internatan, jangan tanya. Disela-sela mengaduk mie rebus pesanan pelanggan, Antok dengan sigap memainkan jemarinya di layar gadget canggihnya. Kalau masalah gadget, sekali lagi aku tunduk kepala plus angkat tangan deh sama aa' satu nih...

Minggu, 08 Juni 2014

PEROKOK, Kaum Mayoritas Yang Tertindas di Negeri Sendiri

Penulis: Betri Wendra S. [19 Maret 2014]


Aku terlahir dari keluarga (bukan) perokok. Bapakku dan bapaknya bapakku (kakekku) mengaku tak pernah merokok (setidaknya begitulah yang ku lihat). Bahkan tidak mustahil Bapaknya Bapaknya Bapakku, dan terus ke atas juga bukan seorang pencandu rokok. Intinya keluargaku adalah (bukan) pecinta rokok sejati.

Pernah suatu kali aku merokok, waktu itu dipenghujung kelas tiga SD. Tepatnya dua tiga hari setelah sunatan. Aku bersama delapan orang teman lengkap dengan sarung masing-masing, maengkang sambil tangan kami menjauhkan bagian sarung yang dekat ke bagian yang disunat. Pagi itu destinasi kami adalah tapi aia (Minang: tepi air) dekat parak (Minang: ladang) pak si Uk. Alasannya sungai di sini lebih berpasir, sehingga cocok untuk kami berjemur mengeringkan bagian yang masih meruyak. Tidak itu saja, entah dapat ide dari mana dan entah keluar dari suara siapa pertama kali, kami mencari batu kali yang mulus untuk di jepitkan ke barang berharga kami ini. Inilah yang kemudian hari menyadarkan aku bahwa dulu aku pernah kanak-kanak, dengan  ngakak habis pastinya.

Tidak berhenti sampai di situ, kegilaan yang dengan sadar kami lakukan terus berlanjut. Bisikan-bisikan aneh terus bermunculan di otak-otak kami, anak-anak kampung. Konon katanya rokok bisa melekas sembuhkan bekas sunatan (dikemudian hari ide ini kuutarakan kepada seorang teman, dokter). “Wah, gilo ko” pikirku, “kalo abak den tau, mati den”, aku terus beralasan. “Dak kompak waang ko do”, seru seorang teman, “dak laki-laki waang kalo indak marokok do”, fatwa teman yang lain. Debat CaPreS (Calon Preman Simpang) ini terus berjalan, sementara beberapa dari kami telah menukarkan uangnya dengan sebungkus rokok berwarna kekuningan. Karena perdebatan berujung alot, kesunyian mulai mengerayang, wajah-wajah polos di depanku mulai menunjukkan ketidaksenangan, bibir mereka mulai tidak simestris. Terang saja pemandangan ini membuatku risau akan dikucilkan. “Oke, Samsu duo batang tek”, ucapku memutus kebisuan. Semua capres akhirnya bertepuk ria, sumringah senyum mereka menyunggingiku.

Itulah dua batang rokok yang asapnya pernah menyelinap ke trakeaku, berembus menggerogoti pulmoku, dan akhirnya berlabuh ke alveolus. Di sinilah nikotin dan teman-temannya membuat makar sebelum akhirnya berenang di aliran darahku, membunuhi cacing-cacing di ususku, dan mungkin juga mempremankan sel-sel tubuhku yang dilaluinya.

Belasan tahun pasca pemerkosaan hak anti rokok itu, tepatnya di sini di atas kursi empuk dengan meja bundarnya ini. Sambil duduk manis aku meringis, berbela sungkawa atas terbunuhnya hak saudara-saudaraku kaum perokok. Karena hampir setiap sudut (setidaknya) di kampus ini melototin perokok sambil bilang: “Kawasan Bebas Rokok” atau “Maaf, Dilarang Merokok di Sini”. Lebih parah lagi, pohonpun seolah mendukung mengusir para perokok, mereka rela di pakukan pamphlet-pamflet bertuliskan usir perokok.

Sebagai kaum (tidak) perokok, aku sedih dengan kenyataan ini. Pasalnya aku banyak berguru kepada perokok. Aku banyak mengagumi orang yang (kebetulan) suka merokok. Seandainya saja aku Capres (calon presiden), akan ku janjikan kepada kaum perokok untuk membangun sejuta bilik tempat merokok, lengkap dengan wifinya.

Photo: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBAFFomZwjfYH90wR13t_Y1W1KyczL_RbmjmM9Cha1b1sQEy6Pxgfe_mkUtKbhBckIe8meUVzcERY62ot7np8RCMa71epKYSpdd-9eUxTFg7lmupKbq6SriS1dKlKTSruMF8gtQqcabP0E/s1600/asapnya+ditelan.jpg

Aku, Biolaku, dan Dia

Oleh: Betri Wendra S
[27 Maret 2014]

Saat dunia berlari menjauhiku, kau selalu mendekat dan mendekapku. Saat semua-mua mulai membosankan, kau selalu mengalirkan nada-nada terindahmu tuk bangkitkan jiwaku. Kau begitu setia dipelukkanku, berdetak mengiringi jantungku, mengalir di sepanjang nadiku.
Namun kini, saat dunia mulai melenakanku. Ku tak sempat walau sekadar mengelusmu, sekadar menyeka kulitmu yang berdebu. Duh jiwa, Aku rindu saat-saat sore menggendongmu mengantarkan mentari ke peraduannya. Aku rindu saat-saat lena meniup suaramu nan merdu, menggesek dawaimu, menyatu dengan nyanyian nan mengiris-iris hulu hati.
Yakinlah suatu saat kita kan selalu bersama, tidak hanya kita, juga Dia.

"Diary"

Oleh: Betri Wendra S
[31 Maret 2014]

Akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan urusan perkuliahan, rutinitas sehari-hari, bahkan dengan kesibukan yang seharusnya tak membikin sibuk. Sehingga tak sempat ke tukang jahit mengantarkan celanaku yang telah lama sobek dibagian lutut. Sampailah di suatu pagi sabtu kemarin. Menurut buku agenda siang itu aku mesti ke Magelang untuk keperluan pemotretan interior taman. Aku memutuskan untuk menjahit sendiri celana kesayanganku itu. Siang itu aku pergi sendiri bermodal motor pinjaman, maklum belum cukup duit buat beli. Di tengah perjalanan, aku teringat beli oleh-oleh buat teman di kos. "Salak ajalah" pikirku. Kebetulan di situ emang daerah penghasil salak. Di sepanjang jalan pulang ku perlambat laju motor sambil melirik-lirik tempat yang cocok.

" e ee .... kelewat", Satu dua unggukan salak telah terlewat. Motor terus melaju, pikiranpun gusar merutuki motor yang tak spontan berhenti di tempat yang sesuai. Kali ini aku lebih mawas, dan bentul saja tak jauh dari titik perutukkan terakhir, unggukan salak pun menanti.
Penjualnya nenek-nenek tujuh puluhan. Aku mulai tertarik dengan cara si nenek memulai penawaran. "Beli lima ribu nek", ucapku menjawab tawarannya. Sambil pilih-pilih ku tanyakan dimana rumahnya. "Di sana mas" jawab si nenek sambil menyunggingkan bibirnya yang tak lagi berisi itu.

Rasa haru menyelusuk begitu saja ke hatiku. Ku hitung-hitung lembaran yang ada di dompet dengan penerawanganku. Di ujung penerawangan ku tersadar "Wah, masing-masing lembar sudah bukan lagi milikku". "sepuluh ribu aja nek", ucapku memutus lamunan. Si nenek dengan sigap memasukkan salak-salak yang sebenarnya agak berlumur debu kelud itu. Satu asoi penuh. "Kok banyak bangat nek?", Timpalku menyangsikan tingkah si nenek. "Ora opo-opo mas", jawab si nenek yang dari tadi menancapkan tatapannya ke jahitan di lututku.
Otakku mulai mengira-ngira, kenapa?. Kok malah si nenek yang kasihan melihat pakaianku, yang mungkin memang pantas untuk dikasihani ini.

"Ikhlaskah Aku?"

Oleh: Betri Wendra S
[13 April 2014]

IKHLAS. Jelas mudah dikatakan, namun teramat sulit dikerjakan. Di masjid kampus ugm pagi ini, seorang ustadz bercerita perihal ikhlas:
....Saat imam Nawawi mendengar orang-orang menggelarinya "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama) karena tulisan-tulisan beliau yang kembali menggairahkan keber-agama-an umat kala itu, beliau berkata: "Aku tidak ridho, bahkan sampai kiamat akan aku tuntut orang yang memberiku gelar muhyiddin"....
Ini lah contoh orang yang paham dengan ikhlas. Begitu paham dengan kata-kata nabi tentang tiga golongan umat yang pertama kali akan dihisab di hari kiamat kelak, yakni SYUHADA, ULAMA/QORI, DERMAWAN. Saat Allah ta'ala menerangkan kelebihan-kelebihan yang telah dikaruniakan, merekapun meng-iyakan. Kemudian ditanya: "Untuk apa kamu lakukan itu semua", mereka menjawab: "Aku berperang di jalanmu hingga mati syahid, Siang-malam aku menuntut ilmu dan mengajarkannya demimu, Tidaklah aku belanjakan hartaku kecuali ikhlas karenamu... ". Namun, Allah berkata: "Kalian BOHONG, itu semua kalian lakukan agar kalian digelari syuhada, 'alim, dan dermawan".

Aku kembali diingatkan, dan aku merinding mendengarnya. Bisa jadi kini aku menulis, dan kelak ditanya "untuk apa kamu menulis", dan aku menjawab: "aku menulis untuk menyampaikan kebaikan, untuk dakwah, agar orang mendapatkan keinsyafan setelah membacanya", akan tetapi Allah menjawab: "BOHONG!!!! kamu menulis agar dipanggil pujangga, seniman, supaya di-like orang-orang, agar dianggap terpelajar, orang baik".....

Sesal Tak Kunjung Usai

Oleh: Betri Wendra S
[15 April 2014]

Dalam keheningan, air mata tumpah,
pun sesal tak kunjung punah.
Walau penat muka menengadah,
ampunan tak jua jadi berkah,
karena Dia ogah memapah....

Takkan lagi Tuhan,
cukup hanya Dia tumbal angkara
korban keparat yang dulu meraja

Baru Dia Rabbi...
Itupun telah melahap habis kulitku yang dulu utuh,
memorak-porandakan sendi-sendi imanku,
mengikis habis tanda sujudku,
terbang berhamburan,
pupus ditelan keangkuhan,
meruap tak berbekas....

Takkan lagi....
Remukkan saja hati ini bila lupa merintih,
patahkan saja kaki ini bila tak mau tertatih,
Jangan biarkan diri ini berdosa lagi, Rabbi......

Photo: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglvzThSk1uSbWch7HF83MAnlWFfeSrckvS8D70JU3TGQ0bKEg8Jdv_7acXtgeiuX7VL3Sccisfu4T7gyZ-J1SOEiwp8V42XRzY__aGXw3HzMDYhksXJ2deCsH8OegqWsu5fEtQKIs28o8T/s1600/Agar+Tidak+Menyesal+Dari+Kesalahan.jpg

Asa Yang Terputus Di Awal Hari

Penggalan Cerpen
Oleh: Betri Wendra S.
[21 Mei 2014]


Baru dua jam berlalu saat Niko meninggalkan gerbang sekolahnya, SMAN 1 Kota Jambi. Hari itu adalah hari yang sangat menentukan bagi siswa kelas duabelas seantero negeri pertiwi. Lulus atau tidak telah ketuk palu, berdasarkan hasil ujian yang tiga hari itu. Siang itu hanya suka cita yang dilihatnya. Beberapa yang tidak lulus tersurut padam menyembunyikan kesedihan yang menggelegak di dada mereka. Tergilas arus sorak-sorai kesenangan. Terpinggirkan oleh keangkuhan cerita teman sekeliling yang telah diterima di universitas kenamaan. “Kamu lanjut kemana?”, Tanya seorang teman memecah lamunan Niko. “Belum tau”, jawab Niko sekenanya, sambil tetap menutup rapat apa yang beberapa hari ini mengganjal di benaknya.

Masih segar terngiang di telinganya. Pembicaraan empat mata sepekan lalu, dengan kakak perempuan yang sudah tiga tahun ini menyekolahkannya. Niko benar-benar terhenyuk saat kakaknya mengeluarkan kata dengan nada menyesal, “Kalau waang nio kuliah, Uni yo ndak bisa membiayai kuliah waang do. Cubolah tanyoan ka Abak jo One”. Sejenak Niko terdiam, bibirnya bergerak namun kelu, kaku. Tak satupun kata keluar dari mulutnya hingga kakaknya berlalu. Dia hanya mampu mengerahkan daya yang tersisa untuk menahan air matanya agar tidak tumpah, setidaknya untuk saat itu. Dia sadar betul, keinginannya yang besar untuk melanjutkan pendidikan, kuliah di kampus yang diidamkannya pupus sudah. Biaya dari orang tua tidak mungkin diharapkannya. Sisa kebangkrutan akibat peralihan sistem dari orde baru ke reformasi masih melumpuhkan perekonomian orang tuanya.

Sejak itu Niko mulai berubah. Dia tak lagi banyak bicara. Hanya dalam keheningan, di hadapan Tuhannya Niko menumpahkan sesak di dadanya. Membiarkan air matanya menganak, mengalir menyisiri kulit wajahnya, hingga jatuh ke sajadah tempatnya bersungkur.

Photo: https://www.facebook.com/Smansa.Jambi/photos/pb.44906564421.-2207520000.1392815704./69978124421/?type=1

Bingkisan Do’a untuk Angku Tercinta

Dari: Betri Wendra S.[30 April 2014]


Kematian merupakan suatu ketetapan Tuhan, Allah ‘aza wajal terhadap manusia. Manusia datang silih berganti, ada yang lahir pun ada yang mati. Dan suatu saat, entah dibilangan tanggal, jam, menit serta detik keberapa pun kita akan mengalami kematian. Kita kadang lupa, akan datang masanya jantung ini akan berhenti berdenyut, darah berhenti mengalir. Seonggok daging yang selalu kita bawa kemana pergi ini, tidak lebih dari bangkai yang akan membusuk dan santapan empuk bagi cacing beserta kloninya. Tak kepalang kesakitan yang akan kita rasa, saat ruh meninggalkan jasad. Ada yang bilang sakitnya seperti leher diiris-iris belahan bambu dari ketinggian sehingga semua nadi terputus saat jatuh ke tanah. Ada juga yang mengatakan perihnya kematian ibarat kulit dikelupas hidup-hidup, lalu disirami air asam. Jelas ini tidak berlebihan. Kita bisa bayangkan betapa sakit gigi saja begitu menyiksa, Disayat pisau dapur,  perih tak kunjung pudur. Apalagi kematian yang merupakan kesakitan di atas kesakitan, perih yang berlapis-lapis.

Walau bagaimanapun akrabnya kita dengan kematian, tetap saja menjadi sesuatu yang aneh jika orang terdekat sendiri yang mengalaminya. Seperti kabar yang ku dengar pagi ini, salah seorang mamak kontan (paman dekat) kami dipanggil yang maha kuasa menghadap kehadirat-Nya. Angku Akmal, salah seorang mamak terbaik kami. Semua anak kemenakan sangat mencintai dan menghormati beliau, bangga bermamakkan angku Akmal. Beliau sosok mamak yang adil, ibarat kata orang minang: “tibo di mato indak dipicingkan, tibo di paruik indak dikempiskan”. Aku belajar banyak dari beliau, kearifan yang tiada tanding. Aku yakin, Allah ta’ala sangat mencintai beliau, ingin segera merangkul dan membawa beliau ke singgasana kemuliaan, di keabadian. Do’a kami menghantar kepergianmu, angku…

Satu-persatu pergi, dan
entah siapa lagi nanti.
Mungkinkah suatu saat nanti,
kita kan bersama lagi.
Dalam kedamaian, cinta kasih tak terperih.
Di surga firdausi…

Kamis, 01 Mei 2014

Wajah Dunia Pendidikan Tanah Air Saat Ini

Oleh: Betri Wendra S.

Sampai detik ini dunia pendidikan kita masih terkesan coba-coba. Seringnya gonta-ganti kurikulum, kasus amoral yang menjijikan, hingga korupsi di lembaga pendidikan santer terdengar. Apa yang sebenarnya terjadi?

Hari ini saya memposting sebuah surat terbuka oleh Nurmillaty Abadiah, pelajar
SMA Khadijah, Sekolah Internasional Surabaya. Surat ini ditujukan kepada Bapak M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di posting di akun facebook Nurmillaty Abadiah, 18 April 2014 pukul 09 pagi.

Akhirnya, semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan. Dan buat teman-teman pelajar yang masih sekolah dasar maupun menengah, dapat menjadi inspirasi dan berkarya lebih kreatif untuk bangsa tercinta, indonesia raya. Selamat menikmati.....

Judul: Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara

Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat,
di tempat.


16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…

a. terpaksa

b. terpuji

c. tercela

d. terbiasa



Ardi berhenti di soal nomor enam belas itu, salah satu soal ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dengan penuh keyakinan…



Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, dan ia menghela nafas dalam-dalam begitu membaca isinya.



Jadi gimana Di, ikutan pakai ‘itu’ nggak?



Barangkali bukan kebetulan Ardi menemukan soal-soal ulangan SD-nya saat ia mau mencari buku-buku lamanya, barangkali bukan kebetulan Ardi membaca soal nomor enam belas dan jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda setelah ia mengirim sebaris kalimat yakin…



Nggak, Jo, aku mau jujur aja.



Sebuah balasan pahit mampir selang beberapa detik setelahnya,



Ah, cemen kamu.



Tapi tidak, Ardi tak goyah. Ia mengulum senyum dan batinnya berbisik pelan, salah, Jo. 



Jujur itu keren.






UNAS. Sebuah jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. Sebuah penentu kelayakan seorang siswa untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UNAS sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai yang terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra, yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil 'memaksa' pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.


Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yang melempar tanya:


"Bagaimana dengan kecurangan UNAS?"


Ah, ya, UNAS memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.


Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dengan kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yang punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat 'kejujuran adalah kunci kesuksesan' itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di berbagai media.


UNAS dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa 'UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan', dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami oleh generasi muda Indonesia.


Tetapi sekarang, sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS... dengan berat hati saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting...


Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.


Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?


Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.


Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.


Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.


Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?


Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.


Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...


Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?


Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?


Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?


Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?


Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?


Etiskah menuntut sebelum memberi?


Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?


Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...


Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.


Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.


Iya langsung bersih cling begitu, toh?


Nyatanya tidak.


Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.


Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.


Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.


Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.


Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?


Tidak.


Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.



.........


.........


.........


Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.


Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?


Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.


Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.


Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?


Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja hasilnya nanti."


Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?


Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...


Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?


(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)


UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.


Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.


Dan saya tahu itu, Pak.


Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?


Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?


Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?


Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.


Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.


Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...





Dari anakmu yang meredam sakit,




Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.


Sumber:
Halaman facebook Nurmillaty Abadiah tertanggal 18 April 2014 pukul 09 pagi.
Photo: http://www.jpnn.com/picture/watermark/20140501_100443/100443_823992_bok_nurmillaty_dlm.jpg

Rabu, 30 April 2014

Moment Teridah

Oleh: Betri Wendra S.
24 Nov'12
Kehidupan memang tak bisa ditebak. Konsep Phi pada Matematika benar-benar menggambarkan roda kehidupan yg terus berputar. Waktu kecil, kita begitu polos, tak pernah terbayangkan akan jadi apa kita nanti. Itulah hidup, penuh dengan misteri, sejarah abu-abu, fakta yang terkadang seperti mimpi dimusim hujan.

Kali ini, ku ingin menulis sebuah moment yang sangat-sangat sulit untuk saya lupakan. Betapa tidak, sosok yang biasanya hanya bisa ku lihat, ku kagumi setiap aksinya di balik layar kaca, sekarang hadir di depan mata, berbagi cerita, bisa memijit kakinya, bahkan bisa tidur di sampingnya. benar-benar sesuatu yang luar biasa bagiku. Pertemuan pertama terjadi pada tahun 2005 dan selanjutnya di akhir tahun 2007.

Kang Gito, begitu lah beliau biasa dipanggil. Pemilik nama asli Bangun Sugito, kelahiran Biak, Papua 1 November 1947 ini merupakan seorang Rocker sekaligus aktor. Beliau pernah main dalam film KERETA API TERAKHIR dan JANJI JONI, yang kemudian mengantarkannya meraih piala Citra aktor pembantu pria terbaik. Nama kang Gito yang pada awalnya dikenal sebagai rocker, kemudian menghilang dari peredaran panggung rock Indonesia. kang Gito kemudian muncul menjadi seorang da'i (juru dakwah), yang kerap tampil dengan pakaian putih dan nampak lebih bijaksana.

Menyisiri perjalanan hidup kang Gito, sungguh sebuah skenario kehidupan yang dahsyat. Beliau becerita panjang tentang masa-masa kelam yg cukup lama dilakoninya. Pernah suatu ketika, setelah selesai ujian akhir di Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Beliau bernazar pada teman-temannya: " Jika saya lulus, saya akan keliling kota Jakarta dengan telanjang". Benar saja, karena ternyata beliau lulus, dan tanpa ragu berkeliling Jakarta dengan MoGe nya, tanpa sehelai kainpun ditubuh seperti janjinya.

Sebenarnya sangat panjang untuk diurai satu-persatu kisah seorang Gito Rollies di sini. Setidaknya Ku telah menulis kisah beliau dalam sebuah buku yg berjudul "Perjalanan Hidupku". Cukup tebal untuk sebuah Diary. Singkatnya Kang Gito sangat istimewa bagiku, karena kesempatan bisa mengabiskan malam bersama dengan cerita-ceritanya yang inspiratif dan penuh humor juga bukan hanya satu kali, tapi lebih. Bahkan saat-saat sakit berat yg kemudian merenggut nyawa beliau, pun masih sempat bertemu dan belaiu masih belum memenuhi satu janjinya pada ku, untuk berangkat bersama ke Mentawai.

Selamat jalan Kang Gito.
Sungguh, bukan kepergianmu yang membuat tangis hati ini. Ketidakpastian bisa berakhir sepertimu lah yang sungguh merisaukan.

Photo: http://tvguide.co.id/static/images/photos/523d8a9f78c9e22.jpg

Mengatasi Kenakalan Orang Tua

Oleh: Betri Wendra S.
26 Jan'13

Bahasan yg cukup menggelitik. Diawali dengan Kisah seorang Bapak yg mengadu kepada Khalifatur rasulullah Umar ibn Khattab ra.

Kaduannya tentang anaknya yg duharka. "Wahai Umar, Tolonglah nasehati anakku, sungguh ia telah mendurhakaiku", kata si Bapak sambil terus menceritakan apa yang telah diperbuat si anak terhadap dirinya.
Setelah pengaduan selesai disampaikan, Umar bersama2 dg Bapak tersebut mendatangi si Anak. "Duhai fulan ibn fulan takutlah kamu kepada Allah karena mendurhakai orang tuamu", Umar memulai nasehatnya terhadap si Anak. Sebelum Umar lebih jauh menyampaikan nasehatnya, Anak tersebut menyela Umar dengan berkata:"Duhai khalifah Rasulullah, sebelum engkau meneruskan nasehatmu, Aku ingin menyampaikan hal ku. Selain kewajiban seorang anak berbakti dan patuh terhadap orang tua, adakah kewajiban orang tua terhadap anaknya?" Umar menjawab:"Ada! Diantaranya: Mencarikan calon ibu yang baik, memberikan nama yang baik, dan memberikan pendidikan dunia-akhirat buat anak2nya".
Dengan berlinang air mata, si Anak berkata:"Duhai Khalifah, Demi Allah! Bapakku tidak menunaikan kewajibannya terhadapKu. Dia memilih wanita yg tidak baik yg sekarang jd ibuku, memberiku nama dengan nama seekor serangga yg biasa hidup di tempat kotor, dan tidak pernah melengkapiku dengan pendidikan yg layak sebagaimana anak2 lainnya". Si Anak tidak putus2nya menyampaikan kegundahannya. Akhirnya, Umar balik memarahi si Bapak yg telah melalaikan kewajibannya itu.

Pembahasan semakin sempurna dengan rincian yg panjang mengenai 6 perenungan yg mesti ada pada diri kita yg akan dan telah menjadi orang tua dari anak2nya, mulai dari Adakah keikhlasan dalam membuang anak?, Anak tetangga, anakku juga, hingga piranti teknologi, antara kebutuhan dan keinginan.

GHARIB

Oleh: Betri Wendra S.
13 Feb'13

Sudah terlalu lama pemuda seperempat abad itu mematung. Matanya berbinar, sepertinya beban pikiran begitu liar berkelabut di keningnya.
Malam semakin larut. Ia mulai bersandar ke dinding teras masjid yang sudah dari tadi tak berpenghuni. Ini bukan kali pertama baginya merenung dalam-dalam tuk menemukan kepuasan bathinnya. Namun ini beda, Ia sedang menanyai dirinya.

Mengapa seorang gadis begitu murahnya memperlihatkan sesuatu yg sangat berharga itu pada dirinya.
ya, sesuatu yg sangat berharga. Bahkan sungguh berlian sebesar telur angsa sekalipun, tak seujung kuku jika dibandingkan dengannya.
Padahal baru tadi pagi Ia berkenalan dengan wanita itu. Wanita yang ramah, pemilik wajah cantik yang gak mungkin lelaki manapun, hanya cukup dengan memandangnya hanya dengan satu kali tatapan penuh kagum mereka.
Sepertinya wanita itu anak orang berada. Sungguh jelas dari tingkahnya yg blak-blakan dengan sedikit manja yg gak bisa wanita itu sembunyikan.

Sebenarnya, Ia bukanlah seorang pemuda luar biasa seperti sosok yg pernah dibacanya dalam kisah-kisah orang shalih yg tidak jadi berzina dengan seorang wanita yg mengajaknya tuk berzina. Karena ingat janjinya dengan Rasulullah, untuk tidak berbohong. Orang shalih itu malu kalau harus jujur dihadapan Nabi, "Aku telah berzina". Hingga akhirya orang shalih tsb gak jadi berzina.
Hanya saja, kisah kelam yg pernah dialaminya begitu membuatnya merintih barkali-kali di kegelapan malam. Mungkin Ia tak mau lagi menambah bintik-bintik legam di hatinya.

Dinginnya malam semakin menyelimuti tubuh pemuda itu. Kali ini, mulai terdengar suara lirih: " Ya Rabb...Sungguh tak ada satupun NikmatMu yang layak Ku dustakan".
waktu terus bergulir. Mungkin Ia akan terus bersandar di sana hingga subuh menjelang.

Selasa, 22 April 2014

Runtuhnya Surau Kami (II)

Penulis: Betri Wendra S.

Jika ku kenang masa-masa itu, belasan tahun yang lalu di sebuah kampung bernama Lubuk Anau. Konon ceritanya, dulu banyak lubuk di sini dan di tepinya tumbuh subur pohon enau, itulah sebab karenanya orang-orang menamai kampung ini Lubuak Anau (dikemudian hari menjadi Lubuk Anau). Di kampung inilah aku dilahirkan oleh seorang wanita yang memesona, wanita penebar cinta dalam diamnya. Wanita yang menyadarkan aku bagaimana memperlakukan wanita, mengajarkan aku untuk mengikhlaskan.

Hembusan angin mulai terasa dingin menyentuh. Garangnya sinar mentari pelan-pelan sirna, ditelan keangkuhan bukit kuburan yang tak jauh dari "tapi aia" (sungai) tempat kami memberi minum kambing-kambing kami, bocah kampung anau. Rasanya baru saja waktu sembahyang asar masuk, sayup-sayup mulai terdengar pula suara orang mengaji di masjid, petanda sembahyang magrib tidak lama lagi. Waktu asar benar-benar pendek, sampai-sampai orang siak (alim) memaknainya dengan waktu yang singkat (Wal’ashar: Demi waktu yang singkat). Bahkan ada nasehat yang masyur dikalangan orang tarikek (sufi/tarekat), “Hidup di dunia hanya sebentar, antara waktu asar dan magrib saja”.

Di sepanjang jalan pulang, sambil mengiring kambing di belakang, kami ngobrol kesana-kemari becanda apa saja. Suasana ini teramat ampuh membesarkan hati kami, membuyarkan keletihan karena mengembala dan menyabit rumput seharian. Pun sepasukan kambing yang berjalan kekenyangan tak luput dari candaan kami. Langkah ku percepat mendekati kambing jantanku, saat dia akan melangkahkan kaki kanan belakangnya, aku sembek si kambing jantan hingga kaki-kaki belakangannya beradu dan nyaris terjatuh. “Mmmbbeeekkk” rengek si kambing jantan, kamipun terbahak seolah tak menaruh iba pada si kambing. Bagitulah candaan kami terus hingga pintu rumah memisahkan kami.

Sembahyang magrib telah usai, aku duduk manis di ubo (tempat duduk dari campuran semen dan kerikil, biasanya dibuat di tepi jalan depan rumah) menunggu teman-teman pergi mangaji. Di kampung anau, hampir semua anak-anak mengaji ke surau. Ada dua tiga surau, dan waktunya selalu setelah shalat magrib. Aku dan beberapa teman dekat rumah mengaji ke kampung sebelah, kampung Koto Jua, sekitar satu kilo dari rumahku. Karena di kampung anau tidak ada guru irama (membaca alqur-an dengan menggunakan tujuh irama, sering juga disebut tilawah), kalaupun ada, merekapun murid dari guru surau kampung Jua.

Kami hampir sampai di rumah Pak Mamek, guru mengaji kami. Sebenarnya nama beliau Pak Mahmud, akupun tak tahu kenapa beliau dipanggil Pak Mamek. Mungkin karena lidah orang kampung terlalu manja untuk bergerak atau karena tidak terbiasa berbahasa arab. Pak Mamek adalah Qori kabupaten. Kabarnya beliau pernah juara satu di MTQ tingkat kabupaten Pesisir Selatan. Beliau sangat tegas dalam mengajar. Kalau beliau sudah duduk di tengah-tengah kami, jangan harap terdengar suara barang seorangpun. Semua menunduk, pandangan tak lepas mengikuti liukan huruf-huruf di kitab alqur-an yang kami pegang. Palacuik (pelecut dari lidi yang dijalin sebesar ibu jari kaki) di tangan beliau yang selalu siap membelai tangan dan kaki kami yang bermain-main, sungguh menambah ciut nyali. Bagiku, selain Pak Mamek, ada satu lagi yang membuat jantungku tak bisa berdenyut normal, anak gadis beliau yang terkenal elok rupa dan budinya seantero kampung anau-koto jua ini. Kadang dengan mencuri-curi aku coba mengangkat kepala, melihat wajah dibalik mukenah putih itu. Walau sedetik, namun begitu lekat dan langsung bisa kulukis dalam ingatanku.

Bagi kami anak-anak kampung, berurusan dengan wanita adalah pekerjaan yang menguras habis keringat. Alih-alih akan mengutarakan rasa, bahkan untuk menyimpannyapun tidaklah mudah bagiku, begitu banyak rasa-rasa. Pernah suatu kali ku utarakan rasa itu, bibirku kelu dibuatnya, suara bergetar, badanpun menggigil hingga mata bisa kupejamkan dalam lelap.

Mungkin inilah yang membuatku sangat mengilhami kisah Amru Qois sang penggila Laila. Hingga aku bisa merasakan dinginnya angin kota Laila menembus kulit Amr Qois dan ikut memejamkan mata saat angin yang sama di kampung Jua menembus kulitku. Akupun ingin berbisik seperti halnya Amr Qois berbisik: “Bukanlah kecintaanku terhadap kota ini yang membuat aku menciumi setiap dinding di lorong-lorongnya, kecintaanku terhadap Lailalah itu semua aku lakukan. Bahkan walau anjing kurap aku temui di kota Laila, aku akan sangat menyayanginya”.

Kini, kampung anau tak lagi seperti dulu. Lubuk dan enau memang tak ada lagi. Namun bukan itu penyebab kampung anau tak lagi kampung anau yang dulu. Suasana surau yang membuat rindu, guru mengaji dengan palacuik ditangan sudah tak ada lagi. “Paga lah dianjak urang lalu” (Pagar sudah digeser orang lain, maksudnya: Adat kita telah diubah orang lain) atau mungkin kita yang telah menggeser pagar itu.

Yogyakarta, 2 April 2014 pukul 18:56
Photo: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/05/1367564524745478338.jpg

Kamis, 06 Februari 2014

Angin pagi yang mengembalikan memori

Suasana pagi ini mengingatkanku saat pagi-pagi yang lalu di kota padang tercinta. Usai menunaikan kewajiban meimami sembahyang subuh di mushalla muta'allimin, sepeda ku kayuh melintasi jalan raya kota yang masih sepi, jauh dari kebisingan klason angkot yang memuakkan itu. Guratan hitam masih mendominasi langit kota di atas sana. Dinginnya angin subuh yang menusuk tak jarang membuat remangku merinding. Kakiku terus mengayuh, bak seorang violinis yang keasyikkan menggesek busur biolanya, ketentraman terasa membuncah di dada. Sepedaku terus melaju, di kiri jalan kampus kedokteran unand berdiri kokoh, seperti biasa ku selalu menyempatkan beberapa menit menertawakan diri sendiri karena sempat bermimpi untuk kuliah di sini, di kampus yang lebih menanyo saku ketimbang otak ini.

Sepeda ku kayuh lebih cepat, rumah sakit M. Jamil telah tertinggal jauh di belakang. Aku berbelok ke kanan, melewati rumah sakit Aisyiah, perempatan lampu merah, terus SMA 1. Ku mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk parkir, terus menuju sebatang pohon yang hanya beberapa langkah lagi di depanku, depan bioskop padang teater.

Ya, inilah rutinitasku waktu itu. Membeli beraneka ragam penganan, ada limpiang, bakwan, roti, dan ada agar-agar juga, macam-macam, dan harganya relatif sama 250 rupiah perbijinya. Ibu-ibu yang biasa jual di sini biasanya melayani pembeli dengan jumlah banyak, semacam grosiran gitu. Ada juga satu dua yang hanya beli seribu dua ribu untuk palapeh tanyo anak-anaknya di rumah.

Hari ini aku beli 250 biji, pesanan dari seorang teman untuk acara seminar di kampus. Tek Us (panggilan akrab penjual penganan langgananku) dengan cekatan menyiapkan lima kantong hitam besar dan mengisinya dengan lima jenis penganan pula. Selanjutnya ku cari angkot untuk membawa pesanan ini ke kampus, sementara aku mengiringinya dengan sepeda.

Subuh ini, walau hanya dalam kamar kos ini. Aku kembali merasakan euforia yang sama dengan subuh empat tahun silam di kota kelahiranku itu.

Rabu, 29 Januari 2014

Efek niat gak full...

Tadi siang usai acara di kampus, tergesa-gesa ku antarkan berkas lamaran kerja yang telah kusiapkan sedari pagi ke sebuah lembaga, SEAMEO Regional Centre for QITEP In Mathematics namanya. Sampai di kantor salah satu lembaga bergengsi di asia tenggara itu, aku langsung disilahkan oleh tim registrasi untuk menyerahkan berkas yang sudah ku pegang sejak memasuki kantor tersebut.
"Kualifikasinya apa mas?" sambut seorang bapak yang menerima berkas ku. "S1 Matematika pak", jawabku sambil pamer senyum terbaik.

Lembar paling atas Surat Lamaran, tidak terlalu dia baca. Lembaran kedua ketiga berturut-turut, Ijazah, Transkrip Akademik, "yang asli ada mas?", Tanya si bapak tanpa melirikku. "Gak ada pak, saya tinggal di kampung", jawabku sekenanya.
"Wah, si bapak sudah mulai gak respect nih" , pikirku. Lembaran skor TOEFEL gak terlalu dilirik. Foto copy KTP bernasib sama, cepat saja berlalu. Lembaran terakhir Curriculum Vitae, kali ini lebih lama mata si bapak terpaku, menyisiri baris demi baris.
Entah apa yang telah dilihatnya, senyum si bapak mulai tampak di pipinya. "Dari ugm mas? masih studi ya?", tanya si bapak bertubi menyerangku. "Ia pak", jawabku singkat. Mata si bapak terus saja berjaulah di lembaran cv ku itu. "Sepertinya ada harapan nih", pikirku lagi.
"Sebenarnya mas tidak lulus syarat registrasi, karena tidak bisa menunjukkan Ijazah asli. Tapi akan saya laporkan dulu ke bapak direktur, siapa tahu ada solusi dari beliau", terang si bapak.

Keluar dari ruang direktur, si bapak langsung menghampiri ku. Setelah sedikit basa-basi, "Mas kenal Prof. Subanar? Kata beliau, mas selesaikan dulu S2-nya, setelah itu datang lagi ke sini".

Betri Wendra
27 Jan'14