Senin, 31 Agustus 2020

Imam Kondang, dulu.

Perasaan itu muncul lagi. Agaknya sudah lima kali jarum panjang di jam dinding masjid menunjuk angka yang sama, sejak makmum secara serentak berucap “aamiin”. Dari iramanya, jelas sang Imam belum akan mengakiri bacaannya. Khusukku mulai letih. Pikiranku mengingatkan pada kejadian di bulan puasa lima tahun lalu. Malam itu malam kesepuluh aku menjadi imam di salah satu masjid raya di Padang Selatan. Malam itu sekaligus malam terakhir untukku meimami jemaah di sana. Karena besok malam jadwalku di masjid asrama polisi Jati Adabiah.


Sudah lebih lima menit rasanya setelah Tarawih usai. Setelah berdoa bersama, setiap jemaah berdiri bersalaman berkeliling. Beberapa jemaah mulai berdesakkan di pintu keluar. Kebanyakkan muda-mudi. Mereka seperti bakwan yang hampir gosong, minta buru-buru diangkat. Di saf depan, bapak-bapak mengambil dinding sandaran langganan mereka. Sesaat aku ngobrol, berbasa-basi dengan pengurus. Sebelum kemudian beranjak pulang. 


Demi melihat aku menuju pintu keluar yang mulai sepi. Seorang bapak tua menghampiriku. Tangannya mencengkram tanganku. Lemah saja memang. Tapi kedatangannya yang tiba-tiba cukup mengejutkanku. Raut mukanya yang keriput terlihat memelas. Sepertinya si bapak tua mau menangis. Sebelum air matanya benar-benar jatuh si bapak bersuara, “jan panjang-panjang bana baco ayat ustad. Maretek lutuik ambo.”


Aku tersenyum mengingatnya, hingga kesadaranku kembali. “A'udzubillahi minasysyaithanirrajim,” ku ulang-ulang tiga kali, lalu seolah meludah ke arah kiri. Sang Imam masih larut dalam bacaannya. Hatiku mulai memaki, “ini sudah tiga halaman, mau berapa halaman lagi.” Mungkin seperti itu juga yang dirasakan bapak tua waktu ku imami dulu. Akupun kembali tersenyum dan, “a'udzubillahi minasysyaithanirrajim,” ku ulang-ulang lagi tiga kali, juga seolah meludah lagi ke kiri.


Di sela-sela ku mempertahankan khusuk. Masih juga otakku berpikir-pikir. Ku yakinkan diriku, “ada yang salah dengan mu, Wendra”. Di ujungnya hatiku menganguk-angguk. Dia berbisik, “bohlam lampu yang menyala tak butuh cahaya untuk meneranginya.”

Akademisi dan Sinta

 Klasifikasi akademisi dalam memperjuangkan Akun Sinta:

1. Sangat bersemangat. Upaya yg mereka lakukan: a) membuat kelompok, setiap orang yang mempublis artikel maka semua nama anggota mesti ada. Bisa dibayangkan jika ada 20 orang dalam 1 kelompok. Walau anda hanya punya 1 artikel anda akan tetap terhitung punya minimal 20 artikel, jika setiap anggota publis minimal 1 artikel saja. Bagaimana kalau semua artikelnya dipublis di jurnal terindex scopus?. Dan masing-masing artikel mensitasi artikel lainnya?, b) setiap artikel yang terbit di share di berbagai akun media sosial milik anggota kelompok, diminta setiap orang, setiap keluarga, setiap kenalan mendownload artikel tersebut, tidak peduli akan dibaca atau tidak, akan diberguna atau tidak. Dengan melakukan 2 trik ini saja, kelompok ini SKOR Sinta mereka akan melejit deras. Dan yang tak kalah penting prestise mereka akan meningkat di mata para akademisi. Mereka akan dinilai produktif dan dianggap orang hebat.

2. Semangat tapi lurus tabung. Kelompok ini akan menulis dengan cara konvensional: a) cari ide, b) riset dan cari data, c) analisis, d) tulis, dan e) publis. Ada yang mentok di publis, berulang kali revisi. Tidak sedikit mentok di riset dan penulisan, bahkan yang lebih parah mentoknya sejak di tahap ide. Kelompok ini skor sintanya akan merangkak. Tak kunjung naik. Parahnya kelompok ini sering jadi korban kelompok pertama.

3. Kelompok "masa bodo dengan skor sinta." Kelompok ini biasanya "nulis ya nulis aja." Mau peringkat seratus ribuan di akun sinta, "peduli amat." Kelompok ini terlihat sangat idealis. Sebagian mereka berorientasi pada "pitih masuk," dan sebagian lainnya berorientasi pada pengabdian keilmuan.


Begitulah dunia akademisi. Yang katanya boleh salah tapi tak boleh bohong. Yang katanya mesti harus adil sejak dalam pikiran.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Ide Kebangkitan

 Ide ini udah menyesak di otak dan tanganku. 

Bertepatan dengan pulang kampung ramadhan kemaren, virus-virus ini ku sebar ke setiap orang yang menurutku bisa ku pengaruhi. 

Ide untuk memulai bisnis dari usia dini, atau paling tidak dari saat ini. 

Terserah anda mau bisnis apa, manfaatkan kekayaan daerah kita, akan lebih bagus lagi jika ada kontribusinya untuk kekhasan daerah, dapat membangun generasi yang lebih baik. Jangan bisnis yang malah merusak generasi, pembodohan dengan hiburan semu. Mari pikirkan Bisnis apa yang akan anda jalani.


Kamu sekarang kelas berapa? (saya menunjuk salah satu teman kecil yang ikut mendengar waktu itu), kelas 3 SD bang, jawab tu teman. 

Okeee,, Misalnya gini nih, kamu minta orang tua mu untuk datangin orang kaya di kampung ini, katakan pak ".....", minta dia modalin kamu sepasang kambing, palingan habis duit 1 juta (yang ketek sajo), saya yakin pak "...." pasti mau. 

Trus saya bilang lagi: Kambing itu beranak 3 x dalam 2 tahun bro, dan jarang sekali beranak itu yang satu anaknya, biasanya 2 atau 3. sekarang kamu kelas 3 SD, jika sampai tamat SMA kamu gak jual-jual itu kambing, kira-kira berapa  jumlahnya tuh? (mmmmmm..... ????????? eee.... dianya bingung).

Apalagi nih ya, kambing tuh bisa dikatakan gak ada penyakitnya di kampung kita, ngembalainnya mudah dan gak ngganggu sekolah, karena saya pengalaman dari sebelum SD udh ngembalain kambing gtu bro (curhat nih yeee.. hehe). Kalo kamu ngembalain kambing, kamu gak inget lagi deh tuh mau keluyuran sana sini apalagi mau pacaran (kan udah ada kambing yang jadi pacar kamu,,,, hehe), karena sudah ada tanggung jawab (eee,,, dianya ngangguk-ngangguk, kening berkerut).


Pokoknya banyak hal yang saya beberkan ke teman-teman, di banyak tempat dan biasanya habis tarawihan gtu. Segudang manfaat yang akan kita tuai jika kita menggalakan "memulai bisnis dari usia dini". Kepribadiannya akan bagus, kenakalan remaja jadi jauh, kemauan mereka untuk terus melanjutkan pendidikan akan mulus tanpa kendala materi pastinya. Banyak untungnya dehhh....


Hasilnya mang luar biasa (setidaknya menurut saya). Perbincangan yang selalu memakan waktu hingga larut malam itu, benar-benar membakar semangat mereka. Saat ini, salah satu teman saya yang berprofesi sebagai guru honorer, telah membeli bibit kambingnya dan sepertinya lagi sibuk bikin kandang kayaknya (sukses bro...).

Dan satu lagi teman kecil (masih kelas 1 SMP) di samping rumahnya yang juga getol bangat ngembala kambing...

(Kok jadi gembala kambing semua ya.... hehe).  


Ayoo,,,, mulai bisnismu...

Selasa, 18 Agustus 2020

Aku dan Matematika

 [C]

Aku mencoba mengingat-ingat, bagaimana akhirnya ku bisa terjatuh dipelukkan Matematika. Ku sisiri sungai kehidupan yang telah ku lewati. Ku temukan wajah One di hulunya, mata air kehidupanku. One-ku tak tamat sekolah dasar, memang. Tapi bukan One yang tak mau. Kondisi waktu itulah yang tidak memungkinkan anak-anak di kampungnya untuk bersekolah, apalagi anak perempuan.


Waktu aku masuk SD, aku belum bisa baca-tulis huruf latin. Tidak lebih dari lima huruf yang bisa ku tulis. Itu pun berantakkan. Tapi jika disuruh baca al-Qur-an di halaman mana saja yang ditunjuk, dengan mudah akan bisa ku bacakan, bahkan lengkap dengan irama Bayyati, Hijaz, dan kawan-kawannya itu. Hal yang demikian berlaku umum bagi anak-anak seumuranku di kampung kami. Begitupun dengan angka, menyebutkan satu sampai sepuluhpun aku hafal. Barulah di pertengahan kelas dua aku lancar membaca, bahkan juga berhitung.


Untuk managemen keuangan keluarga kami sepenuhnya diatur oleh One. Setahuku, Abak tak pernah pegang uang. Semua uang yang diperoleh Abak diserahkan ke One. Jika Abak butuh uang, Abak minta dulu ke One. Perputaran uang di keluarga kami selalu dalam kontrol One. Dan dalam hal ini, One sangat bisa dihandalkan.


Tiga kilometer dari kampung kami kearah pantai adalah Pasar Baru. Pasar ini selalu ramai di hari senin. Sehingga orang kampung lebih mengenalnya dengan “Pasa Senen” atau “Pasa Senanyan” yang berarti pasar senin. Dua istilah inilah yang kerap kali menyulitkan orang kampung kami saat pertama kali ke Jakarta. Karena di Jakarta, Senanyan dan Pasar Senen, dua tempat yang berbeda. Di Pasa Senen inilah One berbelanja kebutuhan dapur selama seminggu.


Setiap pulang dari pasar, One akan memanggilku. Lengkap dengan pena dan kertas, layaknya seorang sekretaris, aku akan menuliskan nama barang dan harga yang disebutkan One. Setelah semuanya lengkap didiktekan, atas perintah One, akupun menotalkannya. Dari laporanku itu, One akan menyocokkan antara sisa uang dengan uang yang dibawa ke pasar. Dan tersenyum lega setelah debit dan kreditnya sama. Dalam hal hitung-menghitung ini, sekalipun One tak pernah menyalahkanku. Jika debit dan kreditnya tidak cocok, One akan memikir-mikir lagi, “apo lai yang alun batulihan?.”


Dikemudian hari aku menyadari, lewat kebiasaan ini, One telah dari awal menyiapkanku menjadi penyuka Matematika. Dan kini, gelar master di bidang Matematika ini ku persembahkan buat One. Sehingga aku pun tersenyum lega, persis seperti senyum One waktu itu.

Agustus di Jakarta

 [D]

Malam 17 Agustus tahun ini memberiku pengalaman baru. Di ulang tahun kemerdekaan RI ke-70 itu aku berada di Jakarta. Tapi bukan karena itu malam tujuh belasan tahun ini begitu berkesan bagiku. Malam itu untuk pertama kalinya aku mengendarai motor keliling Jakarta. Di temani pak Andi, salah seorang dosenku yang rasanya sudah seperti saudara kandung. Awalnya ku pikir pak Andi hafal baik jalanan di Jakarta. Karena beliau sudah sangat sering ke kota yang orang-orangnya selalu terlihat sibuk ini. Ternyata asumsiku meleset. he he ... Kamipun akhirnya hanya mengandalkan penunjuk jalan.


Tujuan pertama kami Kota Tua yang terletak di antara Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Baru lima kilometer berkendara, kami telah salah membelokkan motor Bison yang kami kendarai. Alhasil, kami harus kembali ke pangkal jalan, Duren Sawit Jakarta Timur, tempat kami memulainya. Lima kilometer kali dua terbuang percuma. he he ... Selanjutnya kami lebih berhati-hati. Dan kamipun sampai ke Kota Tua dengan selamat.


Destinasi berikutnya Monumen Nasional alias Monas yang berlokasi di Jakarta Pusat. Perjalanan ke sinilah yang membuat perjalanan malam itu menjadi sangat berkesan bagiku. Lama sudah rasanya keliling-keliling, dan malampun semakin larut walau tak sedikitpun keramaian berkurang orangnya. Jalan besar nan macet hingga jalan pinggir kali yang agak kecil, namun tetap macet, telah kami lalui. Pun bongkahan emas di ketinggian 433 kaki itu belum juga terlihat. Tanganku mulai lemas. Pikiranpun mengambang. Kejadian tujuh tahun silam, saat aku tersesat di hutan belantara Bukit Barisan seminggu lamanya, seolah diputar kembali di hadapanku. Entah berapa lama aku melamun, hingga aku tersadar bahwa aku telah salah berbelok. Jika ku teruskan, jalur Busway di depanku. Bila mundur, lampu merah di sebelah kanan telah berganti hijau, dan seketika antrian kendaraan yang mengular itu telah melesat cepat. "Capek wend, beko nyo kaja awak dek polisi beko," bilang pak Andi dengan nada cemas.


Gas si Bisonpun ku putar habis, melaju cepat di jalur Busway. Tak jauh dari sana, Halte Busway sangat ramai dipenuhi calon penumpang. Ku perhatikan semua mata di sana melihat ke arah kami. Masih dengan kecepatan penuh kami keluar dari jalur Busway. Ku lihat petunjuk jalan yang menggantung di atas sana. Ada gambar motor bertanda larangan. Mobil yang tepat di belakang kami mengklakson. Ku percepat laju motor. Di seberang jalan terlihat polisi ramai lengkap dengan kendaraannnya. "Itu Monas wend." Kamipun merapat mendekati mobil polisi. Pak polisi tak menghiraukan kedatangan kami. Dengan kecemasan penuh getar di dada, ku parkirkan si Bison. Ku menghela nafas. Aku merasa seperti baru saja melakoni film Fast and Furious.  


Perjalanan pulang lain pula serunya. Keseruan tersesat di belantara kota Jakarta. he he ...

Rabu, 12 Agustus 2020

Permenungan

 [B]

Sesaat setelah badan ku baringkan, setelah sebelumnya bohlam lampu ku padamkan. Seketika 'ilham' itu masuk. Ide yang sepuluh tahun terakhir ini menjadi buah menungku. Ide yang terinspirasi dari batu yang dilempar ke atas, dan selalu jatuh. Namun mengapa pesawat yang dilontar dengan roket sanggup mengambang di atas sana. Setelah sepuluh tahun sejak imajinasi liar itu menggurita di otakku. Dan setelah tulisan mengenai itu tak kunjung rampung. Kini, tepatnya kemarin, di waktu yang sangat singkat itu, tanya itu terjawab. Jujur, kemunculannya aneh bagiku. Pasalnya sudah lama tanya itu tak ku pikirkan lagi. Juga menjelang memicingkan mata malam tadi itu, pun tak terpikirkan.


Saat 'ilham' itu menganak-nganak di otakku, bohlam yang baru saja ku padamkan ku nyalakan lagi. Ku buka al-Qur'an. Tanganku meraih-raih pena di tas, tak ada. Ku lempar tas itu sebarangan. Ritme jantungku semakin cepat. Mataku melihat spidol di atas meja belajar. Ku sambar saja tanpa pikir. Ku tulis yang hendak ku tulis di kertas tulis yang tertempel di dinding. Butuh lima menit untuk jantungku kembali normal. Ku cium mesra al-Qur'an di genggamanku, sebelum ku taruh di tempat semula. Ku bersimpuh, menghela nafas sejenak. Kemudian sujud beberapa lama. Saat ku kembali duduk, barulah mataku menemukan pena yang terselip di buku catatan sebelah bantal. Ku mulai menulis pokok-pokok yang hendak ku tulis. 


Lama baru ku bisa terlelap. Walau mata telah ku paksa memicingkannya. Aku kuatir kesiangan jika tidak segera tidur. Dan yang ku kuatirkanpun terjadi. Huufff....

Sabtu, 08 Agustus 2020

Review Kehidupan

 [A] Suatu Sore yang tak diambil sebarang


Dulu aku adalah seorang pemimpi berat. Untuk bercita-cita, tak pernah ku ukur bayang-bayangku. Setiap kali guru-guru di kelas bertanya tentang cita-cita, dengan penuh percaya diri ku katakan: "Jadi Astronot." Ku kerja keras belajar, menjadi penggila bacaan, buku apa saja. Tak kurang tiga buku tiga ratusan halaman tamat ku baca tiap bulannya. Mengapa astronot?. Aku ingin mencari dunia yang ideal, dunia yang orang-orangnya tidak suka bertengkar, tidak seperti duniaku saat ini, begitu pikirku. Suatu hari ku bilang pada Abak, aku ingin kuliah sampai tua. Waktu itu, dengan tersenyum meyakinkan Abak berkomentar, "Abak akan kuliahkan sampai di ma waang sanggup." Namun, dikemudian hari kata-kata itu teramat sangat ku sesali. Aku merenung, mungkin saja kata-kata itu telah membuat kerut di kening Abak semakin banyak.


Aku memang tak banyak bercerita ke orang-orang, bahkan juga ke keluarga tentang impianku. Kecuali beberapa pada Abak. Impian itu hanya ku tulis di buku diary yang menjadi teman curhatku waktu itu. Hingga SMA, aku selalu merawat impian yang tak mengukur bayang-bayang itu. Hingga peristiwa besar sepulang sekolah, menjelang kelulusan itu. Hanya dengan satu kalimat, telah mengoyak berbuku-buku impian yang ku tulis, meruntuhkan bangunan impian yang bertahun-tahun ku bangun. Langit sore yang sedari tadi cerah biru mengggantung di atas sana, pun serasa gelap seketika. 


Sejak detik itu, mulailah ku mematut-matut diri. Ku menjadi teramat pesimis. "Aku ingin jadi petani saja," begitu pikirku waktu itu. Di tengah kemurungan panjang yang ku sembunyikan. Suatu hari, silaturahmi dengan seorang teman lama menyirami kembali benih-benih harapanku. Ku berjalan di antara ikhtiar penuh dan mimpi yang dibatasi fungsi kendala yang ku bangun sendiri.


Dan sore ini, di sudut universitas tertua di negeri ini. Ku putar lagi titik balik itu. Ku merasa tak percaya. Bagaimana aku sampai di sini. Lebih tak percaya lagi, sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini. Ingin rasanya ku menampar pipi, agar lekas ku terbangun dari mimpi ini. Namun, ku lihat sekeliling, mobil di jalanan berjalan normal, gelak pak satpam yang duduk tak jauh dari ku telah cukup meyakinkanku, ini nyata. 


Abak, lihatlah anakmu sekarang. Senyumnya semakin manis. Namun yakinlah, dia masih anak bujangmu yang dulu juga. Anak bujang yang sampai SMP makannya masih juga kau suapi dengan tangan yang kau pakai tuk menggenggam 'ulu tajak' itu.


#------#

Sore ini, lewat tulisan ini. Ku sampaikan Terima kasih takberhinggaku kepada temanku Nafnaldi yang dulu telah menunjukkan jalan bagiku, saat semuanya mulai memudar. Suatu saat ingin pula ku sebut satu persatu nama-nama yang telah menjadi tangan-tangan Tuhan bagiku.