Jumat, 27 Desember 2013

" "

Sungguh tak mudah menjadi anak yang berbakti. Teramat beratnya, hingga mustahil kita mampu melakukan sesuatu yang benar-benar bisa membalas kebaikkan dan kepayahan yang dilakukan orang tua terhadap kita, anaknya.
Aku belum lagi sampai di titik, dimana punggungku memancarkan darah karena menggendong ibu dangan punggungku sejauh ratusan kilometer hingga tawaf 7x, dan seterusnya. Sungguh terlalu jauh dari semua itu.

Ku hanya bisa menangisi ketakmampuanku.
Duhai cinta yang takkan padam, maafkan aku....

Hari yang Sulit

Kata orang, hidup memang penuh lika-liku, kadang sulit kadang mudah, sedih, senang terus bergulir. Kamu akan lupa bagaimana rasanya sedih saat kamu di buai kesenangan. Kala kesedihan, kesukaran atau duka yang sedang merundung, kesenangan yang pernah (atau bahkan sering) kamu alami akan menguap bagai air yang terus-terus dipanasi, dan kemudian kering, hilang tak berbekas.

Kini aku sedang berada di lereng-lereng kegundahan, keterpurukkan akibat pilihan yang aku pilih, kemalasan yang merajai, hingga aku tak tahu lagi apa yang bisa lakukan. Mencaci diri karena sok pintar. Dimana aku (sebenarnya)?

Semua seakan menuding, tak ada yang peduli. Seakan semua musuh bagiku.
Kadang ini seperti bom waktu yang ku tanam sendiri.
Sungguh kondisi ini tak mudah bagiku. Rasanya aku mau jatuh, kakiku terasa tak sanggup bertahan di lereng nan curam ini.

Jumat, 08 November 2013

Masa kecil penuh mistis

Perbincangan ringan dengan mas Robbi Habibi pagi ini mengingatkan aku pada kitab berbahasa arab melayu gundul, peninggalan Amak(Nenek)ku yang diserahkan padaku beberapa bulan sebelum Amak meninggal. Kitab itu sudah berumur, sangat jelas sejak pertama kali aku membukanya. Aku entah generasi keberapa yang memegangnya. Masalahnya saat ini adalah dimana kitab itu sekarang, aku lupa menaruhnya dimana. Setelah ku coba membawa ingatan kemasa penuh haru itu barulah ku berani meyakinkan diri, kekuatiranpun menguap.

Kembali kemasa kanak-kanak selalu mampu membuatku tersenyum lepas. Ku coba menguraikan dan begini jadinya.
Aku terlahir di tengah masyarakat yang gemar berkelahi. Masalah kecil dengan mudah membiak jadi besar. Perkara anak ingusan tak jarang membikin dua keluarga tiga turunan tak bertegur sapa. Tapi itu dulu, sekarang lain cerita.

waktu masih kelas I sekolah dasar, hampir tak ada hari aku lewati tanpa tidak berkelahi. beragam gaya, dari lengkap berpakaian dan di tanah lapang, hingga kalalatu kalawa indak babaju indak basirawa, di tengah sawah yang berlumpur pula.

Suatu kali, karena sangat terobsesinya jadi orang bagak, aku pernah otodidak bak seorang pendekar, berlatih bela diri di dalam Gua di kaki bukit, tidak terlalu jauh dari perkampungaku. Saking asyiknya aku tertidur hingga bermalam di sana.
Untung saja inyik dan hantu blau tidak menyadari keberadaanku.

Cerita ini aku persingkat,
Begitu berliku petualangan mistisku di masa kanak-kanak dan remaja. Pernah mau berguru ilmu kebathinan pada seorang guru di kampungku, namun ditolak, waang masih ketek, si guru beralasan. Pernah juga berguru pada adik kakekku di kampung sebelah, beliau pernah jadi guru spiritual seorang bupati di kota P. Dua tahun bolak-balik, tak kenal siang atau malam, alhasil dua buku bintang obor penuh dengan ayat-ayat pekasih, pamanih, adat-adat berjalan, makan dan ilmu-ilmu lainnya.
Dan terahir sebuah kitab pemberian Amak. Pernah suatu kali Amak bercerita, dulu di ladang kakek pernah kecurian dan anehnya si pencuri tak sadarkan diri, hanya mengelilingi ladang, terus sampai kakek datang menegurnya. Ilmu itu ada di kitab ini kata nenek saat menyerahkan kitab itu padaku.
Tapi aku belum percaya, makanya tak sungkan aku menceritakannya di sini.

Senin, 04 November 2013

Hijriah, revolusi ke-1435

Oleh: Betri Wendra Syailendra

Matahari memudur di barat,
angkasa raya bersorak-sorai kegirangan,
angin riuh berkejar-kejaran.
Pun awan punya caranya sendiri meriahkan akhir 1434 ini,
ya, ini jam terakhir, menit terakhir, dan
sebentar lagi detik terakhir untuknya.

Alunan suara muazin petanda reinkarnasi,
kelahiran hijriah baru.

Belum ada yang berubah padaku, pada bangsa ini.
Hanya mampu berkoar, menyalahkan sesama,
merutuk terus dalam hati tanpa aksi.
Selemah-lemah iman, bisik iblis.

Bumi manusia menunggumu, duhai diri.
Kau disusui dan dibesarkan di sini,
di negeri impian para penjajah ini.
Tak pandai balas budi, makiku,
anjingpun akan setia, berbakti pada tuannya.

wahai kau, ya kau...
Buang kepicikkanmu,
jangan berlagak jadi Tuhan,
kami muak, keparat.

Kini 1435,
kata orang-orang macan yang tidur ini akan mengaung,
seperti benua biru tinggalkan "Dark Age" mereka,
di abad pertengahan.

Ini, Ke-1435 kali sang waktu mengulang petuahnya:
"Mulailah revolusi kalian,
mulai...."

(Photo: http://farm5.staticflickr.com/4018/4230917444_1883444dba_z.jpg?zz=1)

Rabu, 16 Oktober 2013

Indra Syafri

          Bukan maksud berbangga-bangga. Namun, tak kupungkiri rasa senang itu begitu saja menyelinap di hati. Pasalnya pelatih Timnas U-19 Indra Syafri bener-bener sekampung dengan ku (bukan sekadar satu provinsi, tapi lebih dekat lagi. Rumah beliau hanya berjarak tak lebih dari 10km dari rumahku). Sebenarnya bukan karena posisinya sebagai pelatih Timnas yang membuat besar hati ini, lebih karena kepribadiannya yang luar biasa.
Thanks very much, Anda telah menambah referensi orang2 terpilihku.

[Photo: http://cdn.klimg.com/bola.net/library/p/headline/0000129801.jpg]

Negeri manusia terpilih

Di negeri "bumi manusia" inilah manusia-manusia setengah dewa hidup dan menghidupi. Sesuatu yang musykil nyata di sini. Kita akan saksikan adegan keikhlasan vulgar terlihat. Inilah negeri impian, tanah yang dijanjikan (versi kontroversi).

Betri Wendra
[Terinspirasi setelah membaca blog:
http://saptuari.blogspot.ca/2013/10/tuhan-maha-sutradara.html?m=1]

Sabtu, 12 Oktober 2013

Bedah Buku: Api Sejarah 1 dan 2

Butuh waktu empat belas tahun bagiku untuk mengurutkan adegan sejarah bangsa ini dalam otakku. Dan hanya butuh waktu empat jam saja untuk membuatnya terserak berhamburan.
Bedah buku Maha karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Guru besar Universitas Padjajaran Bandung, siang tadi di Masjid Kampus UGM sungguh mengesankan.
Ribuan pasang mata dibuat ternganga dengan paparan sang Kyai (Aku menyebutnya demikian) yang sudah sesepuh ini. Begitu sang kyai memulai, jemari sang kyai meliuk2 menggambar peta dunia tepat di hadapanku di atas sebuah papan tulis yang tersedia. Kepiawaian sang Kyai merangkai kata dengan bagan2 apik, membuat kami dengan mudah menapaki aliran sejarah yang sudah berlalu berabad-abad lamanya itu.

Awalnya aku yang duduk hanya 2 meter saja di depan sanga Kyai merasa tersinggung, bahkan sangat tersinggung. Bermula dari pembicaraan perihal jam tangan yang mesti ditangan kanan (mata sang Kyai melirik jam tangan yang terpasang kokoh di tangan kiriku), hingga tokoh2 dari Minang yang menjadi objek pembicaraan kelamnya sejarah negeri ini. Nama-nama semisal M. Yamin dan Tan Malaka diseret-seret karena kiprahnya menjadi induak angkang sebuah partai sayap kiri kala itu. Namun ketersinggungan itu sirna ketika sang Kyai membahasakan kekagumannnya terhadap pendekar2 Minang yang lain seperti Bung Hatta, Buya Hamka dan nama2 besar urang awak lainnya.

Usai acara aku memboyong dua buku fenomal torehan tinta sang Kyai ini. Tidak tanggung-tanggung 200rb minggat dari dompetku. Ini menjadi berat karena kondisi keuanganku yang sedang menyedihkan saat ini. Hanya tersisa selembar duit bergambar Soekarno-Hatta di tanganku yang mulai gemetar. Sementara masih seminggu lagi subsidi baru datang. ya sudah mau bagaimana lagi.

Dalam-dalam ku pandangi buku-buku yang telah ditanda tangani langsung penulisnya ini. Berharap Ia mampu mengusir rasa lapar yang mulai menyerang kampung tengahku, setidaknya untuk malam ini.

 

By: Betri Wendra
(Photo: http://us.images.detik.com/content/2010/01/09/486/Api-Sejarah-Insert.jpg)

Cinta berkasta?

Kadang aku curiga, apa benar Tuhan tidak menciptakan kasta.
Perkawanan, perkongsian bahkan cinta tak jarang terkotak, terkasta.
Inilah deritaku sedari dulu.
Inilah hidup, bisik naluriku. Mungkin kata2 cak Nun ada benarnya, "Untuk tahu Tuhan jangan tanya manusia, tanya langsung ke Tuhan".
Cukup kau banyak membaca. Membaca yang real dan yang unreal (baca: Anreal... hehe), terus rasakan kalimat-kalimat itu akan menggores dalam hati dan pikirmu.

Akhirnya aku bimbang, tak ada judul di kertas ini. Menunggu pintu langit tersibak, menjatuhkan buahnya.

By: Betri Wendra

Setangkai Putri Malu untuk Laili



Yogyakarta, 17 Juni 2013
Setangkai Putri Malu untuk Laili

Ini tak biasa. Ku mulai membalik lembaran usang tak tersentuh.

Kita yang terlahir di masyarakat kaku ini. Acapkali haus akan tutur lembut di  rumah sendiri. Kata-kata sayang, senyum penuh cinta sesuatu yang mahal di sini. Kita mungkin sangat mudah mengatakan rindu sama seseorang yang kemarin kita kenal, tapi tak kepalang payahnya untuk mengatakan: ”Bu, Aku sayang sama Ibu…”.
Tiba-tiba ku teringat adikku yang lagi galau nun jauh di sana, nentuin mau lanjutin sekolah kemana. Sebenarnya, banyak kata yang tertunda untuk ku bagi padamu, adikku. Mungkin saat ini, kau masih kecil tuk merasakan semuanya. Abang berharap suatu saat nanti kau akan temukan setangkai putri malu ini, duhai sang Bintang Digelapnya Malamku (Najmi Laili).
Dik, kamu takut ya sama abang?.
Sekarang kamu kan udah punya HP sendiri ya. Kok dak pernah ngubungin abang? Abangkan juga pengen tahu gmana sekolah kamu, tentang hasil UN kamu. Kamu mau lanjut ke SMP atau Tsanawiyah, dik? Atau ke pesantren seperti yang Ni Devi bilang ya?.
Maafkan abang ya dik. Abang belum bisa bantu apa-apa sekarang. Abang pengen bangat kamu sekolah di pesantren itu, kata Ni Devi pesantrennya bagus ya dik. Kamu udah pernah ke sana?.
Dik, kamu ingat dak dulu waktu di kampung. Kalau One ngelarang kamu mandi ke kali, pasti bilang abang marah ya. Wah, sekarang kamu udah besar. Udah setinggi Ni Yuli.
Bang masih ingat, waktu pulang kemarin kamu minta dibeliin jilbab. Ntar kalau bang balek bang bawain ya dik ya.
Ya Allah, papahlah adikku disetiap langkah kecil hidupnya.
Jangan lepas tangannya, kala badai benar-benar kuat menghempasnya.
Ya Allah yang maha lembut, lembutkanlah hati dan lakunya.
Jangan timpakan dosa-dosa hamba padanya.
Ya Allah yang maha indah, karuniailah Ia keindahan yang menebar bunga-bunga rampai di hati kami.
Ya Allah, engkaulah sebaik-baik pelindung.
Lindungi adikku ya Allah…

Dia yang Nelansa merisaukanmu,


B. W. Syailendra



Kamis, 03 Oktober 2013

Sepenggal cerita 08

Liburan semester 2008 adalah yang paling berkesan dalam hidupku. Pengalaman berjalan kaki tak kurang dari 300 km disepanjang pegunungan bukit barisan selama 52 hari, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah Christopher Johnson McCandless versi bumi andalas.


Kami sebelas orang dan kebanyakkan mahasiswa, dengan bekal apa adanya, masuk kampung keluar kampung, menyisiri medan yang tak mudah. Pegunungan Bukit Barisan, di sinilah beberapa urang cadiak asal Minang pernah kesasar, sebut saja Bapak Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri) dan baru-baru ini Rombongan DPRD kabupaten Solok juga kesasar di rerimbunan Bukit Barisan ini. Nasib yang sama juga kami alami, kesasar di hutan yang sejengkal tanahnyapun tak tersentuh matahari, duduk terpekur di sarang-sarang inyik belang kala malam menjelang
. Bahkan beberapa hari tak sesuappun makanan masuk ke lambung, hanya sesekali buahan sisa kera hutan yang membuat kami rakus, sambil mencibir ke arah kera yang lari terbirit. Di tengah kepayahan yang bertambah-tambah itu, panorama hutan belantara yang bak negeri dongeng membuatku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini benar-benar terjadi?.

Hari itu hari ke-3 sejak kami meninggalkan kampung terakhir. Waktu zhuhur telah masuk, kami berjemaah di tanah miring itu. walau masih siang bolong namun matahari tetap saja malu-malu, menyuruk di lebatnya pohon-pohon tua bangka itu. Siang bergulir berganti malam gelap mencekam. Lagi-lagi kami tak menemukan tanda-tanda akan keluar dari cengkraman ini, malah lebih parah, kami terperosok ke lembah curam nan dalam, sangat dalam. Malam itu sangat dingin, kami menghamparkan terpal biru, melingkar mengelilingi api unggun menemani pikiran-pikiran kalut, suram nyaris tanpa harap bisa pulang ke rumah.

Pagi buta, baru saja habis subuh kami mulai melangkah meninggalkan lembah, tujuan kami hanya satu, puncak gunung. Setelah seharian mendaki dan mendaki, tak dinyana jam tanganku telah berbalik, sekarang pukul 5 sore.
Kepayahan ini belum berakhir, terus saja mengronis. Benar-benar letih di atas letih, kepayahan yang bertambah-tambah di kegelapan yang berlapis.

Sudah seminggu kami berjalan tak tentu arah. Mulut kami tak henti-hentinya merapalkan Yasin, aku sudah puluhan kali mengulang-ulanginya, lidahku mulai kaku, aku mulai putus asa dengan semua ini.
Malam terus berlari, mendahului langkah kami. Dikejauhan, cahaya kerlap-kerlip sayup-sayup terlihat, tak ubahnya seperti mata bidadari yang menggonda manja, memelas tuk didekati.
Butuh waktu 7 jam untuk sampai ke sini dari tempat kami berdiri tadi. Ini lah kampung tujuan kami, "Garabak", begitulah orang sini menyebutnya.
Luar biasa senangnya hati ini, akhirnya bisa ketemu manusia lagi selain kami bersebelas.

Derita belum berakhir, inilah puncaknya, jauh lebih tinggi dari pada puncak bukit barisan yang telah kami daki.
Masuk kampung orang ditengah malam, kami telah dinanti dengan puluhan pemuda lengkap dengan anjing buruan yang tak henti-henti menyalak menunjukkan taring-taringnya yang panjang.
Kami berusaha memelas, berharap bisa merebahkan tubuh yang hampir rubuh ini barang semalam di kampung mereka.

Sepertinya masyarakat sini tak punya hati, jangankan semalam satu menitpun tak ditenggang. Batu-batu mulai bertebrangan, lolongan suara anjing kelaparan mengusir tanpa ampun. Terlintas kisah ribuan tahun lalu di otakku, saat Nabi mulia dihinakan dan diusir dari kampung Tho'if. Air mataku tak terbendung lagi, debu di wajah tersapu derasnya aliran bening yang terus membasahi dadaku.

Derita ini belum berakhir, aku tak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku, disini. Ku ingin pendam ia dalam-dalam.



By: Betri Wendra
(Photo: http://assets.kompas.com/data/photo/2012/04/21/4699992p.jpg)

Selasa, 03 September 2013

Ilyas Yacoub, Pahlawan Tak (di)kenal

Jika Anda Memasuki Kota Painan-Ibu Kota Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat- dari arah Kota Padang, maka anda akan di sambut dengan patung besar sorang pria yang sedang mengangkat tangannya. Patung yang berdiri diatas bundaran ajalan utama kota painan tersebut merupakan salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Beliau ditetapkan sebagai pahlawan melalui Surat Keputusan Presiden No. 074/TK/1999 bertanggal 13 Agustus 1999.

Adalah Ilyas Yacoub, Pahlawan Nasional yang dilahirkan di Asam Kumbang Bayang Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada tahun 1903. Sebagai Penghormatan terhadap kiprah beliau selama masa hidupnya, pemerintah daerah memberikan bebrapa penghargaan berupa penamaan Stadion Sepak Bola Ilyas Yacoub, jalan dan patung selamat datang di pintu masuk kota Painan.

Namun, saya sebagai putra asli Pesisir Selatan merasa beliau antara ada dan tiada. Sebagai orang muda, saya merasa pahlawan nasional asli Pesisir Selatan ini tidak begitu dikenal-sekedar untuk menyebut tidak dikenal- oleh para anak muda lainnya. Anak-anak muda Pesisir Selatan mungkin hanya tahu nama tapi tidak begitu mengenal siapa sebenarnya Ilyas Yacoub.

Pahlawan Nasional yang wafat di Koto Berapak Bayang 2 Agustus 1958 jam 18.00 Wib sangat jarang diperdengungkan di kelas-kelas sejarah sekolah dasar maupun menengah. Semenjak saya bersekolah, baik SD, SMP, SMA tidak pernah guru sejarah saya menyinggung nama beliau sebagai salah seorang pahlawan nasional. Walaupun beliau sudah ditetapkan menjadi pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia dengan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999.

Kiranya, penghargaan terhadap beliau tidak cukup dengan pelabelan nama beliau pada sejumlah nama sarana publik. Perlu sebuah gerakan mendengungkan namanya pada kelas sejarah di sekolah-sekolah, mendiskusikan perjuangannya, memperdebatkan pokok-pokok pikirannya sebagai sebuah proses dialektika yang sehat dan menyehatkan. Jika Pemerintah sudah berbuat dengan mengabadikan namanya pada sarana publik dan pemberian santunan kepada keluarga, maka masyarakat wajib membuat gerakan untuk lebih mengenalkan Ilyas Yakub, terutama kepada kaum muda.

Kaum Muda Pesisir Selatan patut berbangga, bahwa salah satu pahlawan nasional berasal dari Bayang pesisir selatan. Perlu di pelajari perjuangan dan pokok-pokok pikirannya. Sungguh disayangkan jika seorang pahlawan nasional tidak pernah dikenal oleh generasi setelahnya. Saya masih ingat waktu kuliah S1 dulu, ketika berkunjung ke perpustakaan universitas, saya menemukan lusuh di pojok perpustakaan tersebut. Buku yang saya sudah lupa judul dan penulisnya tersebut membahas nama ilyas yacoub lebih kurang 2 halaman. Itulah kali pertama saya membaca referensi tentang beliau.

Setelah Searching di internet, ada beberapa buah buku yang bisa dijadikan referensi untuk mengenal beliau, diantaranya adalah sebagai berikut(saya ambilkan dari wikipedia) :

  • Abdul Munaf Al-Amin, Imam Maulana, tt. Muballigh Al-Islam. Padang: PP Batangkabung.
  • Mardanas Safwan, dkk., ed., 1997 Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
  • Edwar, ed., 1981 *Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat
  • Mestika Zed, Dr., ed, 2002 Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Sumatera Barat. Padang: IAIN-IB Press – Angkasa – ICSB.
  • Nirmawati, 1984 Tinjauan tentang Sejarah Perjuangan Haji Ilyas Ya’kub (skripsi). Padang: Fakultas Adab IAIN-IB.
  • Schrieke, BJO., terj., 1973 Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara.
  • Taufik Abdullah, ed., 2003 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini. Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve.
  • Yulizal, Yunus, 1999 Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press.

Adalah kewajiban kaum muda untuk mengenal para pahlawannya. Juga menjadi kewajiban orang tua untuk "menceritakan" kejuangan pahlawan tersebut.


Sumber:  http://berrydevanda.blogspot.com

(Photo: http://www.google.com/imgres?imgurl=http://lubukgambir.files.wordpress.com/2010/03/384765_273064832731269_1132479084_n.jpg%3Fw%3D600&imgrefurl=http://lubukgambir.wordpress.com/2010/03/28/ilyas-yakub-pahlawan-nasional-dari-pasisie/&usg=__s6UnwmolWkS_7JnBnil-1_HpSx4=&h=604&w=395&sz=45&hl=id&start=1&zoom=1&tbnid=hbiMhs9ZnEVbIM:&tbnh=135&tbnw=88&ei=WchOUsS0JomJrgfbw4GoAg&itbs=1&sa=X&ved=0CC4QrQMwAA)

Sabtu, 20 April 2013

Filsafat Cinta

Cinta yang dalam, kadang memang membingungkan,
tapi nyata.
Seperti nyatanya deretan angka-angka yang mengisi hari-hariku itu.
Cinta yang tulus itu polos,
tak punya alasan.
Seperti halnya embun yang tak butuh warna,
biar daun jatuh cinta.

Cinta butuh tawa dan air mata.
Karena cinta bertengger di titik ekstrem,
bukan pada garis lurus.

By: Betri Wendra

Jumat, 19 April 2013

Abak,"Bet sayang samo Abak"

"Abak", begitulah Ku memanggil orang tua laki2Ku.
Ujuk-ujuk, beliau menyelinap dalam mimpi ditidurKu kemarin malam. Sebuah Mimpi yang membuatKu kangen berat dengan beliau yang berujung aliran bulir bening di pipiKu.
Jam digital di HandponeKu menunjukkan pukul 23.30 WIB.
Malam itu Ku tidur lebih awal karena aktifitas seharian yg begitu melelahkan, ditambah suhu tubuh yg panas dingin tak menentu.

Ku coba meraih Handpone di meja belajarKu.
mencari-cari nama yg bertuliskan "2.aB!".
Tak butuh waktu lama mencari, karena nama itu terletak no. 2 paling atas setelah nama "1.Umm!" di daftar panggilan handponeKu.

Setelah panggilan tersambung. "Assalamu'alaikum, ba a kaba bak, sehat?." UcapKu memulai percakapan. "Wa'alaikum salam, alhamdullillah sehat", jawab bapakKu.
"Waang ba a lai sehat di situ?" Beliau balik bertanya. "Alhamdulillah berkat do'a abak, bet lai sehat2 c nyo." JawabKu.

Setelah bercerita tidak terlalu panjang, Ku tahu baliau masih sangat capek karena seharian memanen sawit di ladang yg jaraknya dari rumahKu sampai 2 jam perjalanan dengan mobil umum. Untung saja ada buruh di sana yang membantu.
Untuk saat ini, memanen sawit bukan saja capek karena bekerjanya yang menguras tenaga. Lebih dari itu, harga sawit yang turun drastis akhir2 ini begitu menambah letih yang memerihkan para petani sawit di KampungKu khususnya.

Tak ingin Ku terlalu lama mengganggu istirahat Abak. Memanfaatkan jeda yang membuat kami saling terdiam, Ku menghela nafas mencoba mengeluarkan kata2 yang dari tadi tertahan di lidahKu yang kaku.
....."Bak, Bet Sayang Samo Abak."
Sontak beliau jadi salah tingkah. Berusaha untuk membalas kata2Ku, berucap kata2 yang selama ini hanya menjadi perbuatan yang esensial dari kata itu. Namun, belum menjadi kata yang akrab di lidah dan telinga kebanyakkan keluarga di KampungKu.
Tak mau kelihatan kagetnya, belaiu kemudian berkata: "Abak... Jugo bet."

Begitulah percakapan kami berakhir.
Namun, tidak akhirnya membuatKu dengan cepat memejamkan mata menyambung mimpi demi mimpi yang menunggu. Mungkin juga begitu dengan Abak. Detakkan jantungKu mulai terdengar sayup2 ibarat fatamorgana dikejauhan yang mulai menghilang.

By: Betri Wendra

Cerita Lama

Suatu hal yg tak pernah pupus dari ingatanku. Waktu itu ku masih SMP kelas 2. Senang bangat, karena untuk pertama kalinya tulisanku dimuat di koran dan di baca banyak orang di provinsi tempat ku lahir.

Sejak saat itu, tulisan2 ku mulai acap muncul di koran dan majalah yg cukup populer waktu itu.
KampungKu
Dorongannya bukan saja sekedar hobi, namun lebih karena beberapa lembar rupiah yg selalu terselip dalam amplop putih itu.

Tak main sesaknya nafas ini, saat ku melihat namaku tertulis paling atas di deretan tulisan karya pelajar sekolah menengah waktu itu.
Namun, waktu tak memberiku hari-hari yang panjang tuk membiarkan hatiku terbuai di atas ayunan sanjung puji yg mulai sayup2 sampai ke telingaku.
Karena beberapa hari setelah dimuatnya puisi pertamaku itu. Aku di panggil ke ruang majlis guru tuk menjelaskan makna dibalik puisi itu.
Ku tersentak saat ku sadari, tulisan itu telah membuat guru-guruku mendapat banyak pertanyaan dari guru-guru sekolah lain yang menganggap tulisan ku itu menggambarkan sosok guru yang pendendam.
Kejadian itu sungguh memahat tulisan-tulisanku berikutnya menjadi lebih halus.

Walau begitu, orang-orang terdekatku adalah yang paling tak tahu Aku waktu itu (mungkin juga sampai detik ini), karena bagiku tak pantas saja tuk berlagak dihadapan mereka.
Bahkan saat ku meraih tropi berpahatkan Juara II lomba Renang tingkat provinsi disusul nominasi 10 besar karya ilmiah tingkat remaja nasional dan banyak lagi yang tak mereka tahu tentang aku. Ku merasa cukuplah Aku yang bukan siapa-siapa di mata mereka (karena memang ku bukan siapa-siapa, :-)).

Lain di hulu lain di seberang,
lain dulu lain sekarang.
Sekarang, satu buku rahasiaku ditangan mas Edi (bukan nama sebenarnya). satu halaman tlah ludes dibaca, jemarinya mulai membolak-balik halaman demi halaman, sementara raut mukanya yg tipis menunjukkan mimik yg tak menentu. kadang senyum sembringah, namun lebih sering ku lihat matanya berkaca-kaca.

Pada mas Edi ku tak bisa menjanjikan banyak. Apalagi buku bertuliskan tulisan di lembar-lembar terakhir itu. Mungkin waktunya saja yg belum tepat.

By: Betri Wendra

Hari 1 di KSBN

Sore itu, Aku latihan Suling bambu di sebuah komunitas music.
Seperti biasa, sejak 2012, Ambarukmo Hotel menyediakan fasilitas khusus bagi komunitas pecinta music tradisional ini, berupa tempat latihan yg cukup nyaman "Pendopo Agung Ambarukmo", Coffee break, dan lainnya.

Latihan berakhir menjelang Adzan magrib. Aku dan beberapa teman memutuskan tuk shalat magrib di mushalla hotel yg tak jauh dari pendopo.
Cukup rame yg shalat di sana. Sepertinya tamu2 hotel dan pengunjung plaza Ambarukmo memilih tuk shalat di sana juga.
Semua jemaah telah berdiri rapi. Hanya beberapa orang saja yg masih berwudhuk.
semua pasang mata saling mempersilahkan orang yg di sampingnya tuk menjadi imam. Hanya Aku belum kebagian tawaran. Mungkin celana Jeans yg Ku pakai tlah cukup menjadi alasan bagi mereka tuk tidak menawari Aku, atau mungkin juga karena ujung2 rambutKu yg kini mulai akrab dengan bahu Ku. Entahlah....

PikirKu mulai melayang. menembus tahun2 yg tlah berlalu. Saat Ku tak bisa memilih dalam menjalani hidup. Hanya patuh pada takdir yg menyeretku ke tempat yg kelak sangat Ku syukuri.
Saat, dimana Ku memulai perjuangan tuk bisa Kuliah, dg menumpang hidup di masjid2 negeri kota tercinta.
Keseharian yg benar2 baru bagi Ku, mengayun sapu, membros toilet masjid, menggelar tikar, mengumandangkan adzan, hingga mengimami shalat. Semuanya jd biasa seiring waktu.

Sentuhan lembut dan lirih suara teman di samping membuyarkan lamunanKu.
"Monggo mas..." katanya mempersilahkan Ku maju, diikuti beberapa orang lainnya. Entah kenapa Kakiku mulai saja melangkah, mengambil posisi imam.
Kini, semua tlah berdiri rapi. Tanpa diperintah, Jemaah yg tepat berdiri di belakang ku mengumandangkan Iqomat. Ku layangkan pandangan ke arah jemaah, terlihat seorang bapak memisahkan diri dari jemaah dan sepertinya akan shalat sendiri.

Shalat berakhir, Ku rasakan ketenangan benar2 menyelimuti kami.
Sambil berzikir, Ku lihat bapak2 yg tadi shalat sendirian duduk rapat disebelah jemaah di shaf belakang. Sepertinya dia ikut berjemaah jg bersama kami.

Ku mulai melangkah, hampiri sepatu sport yg dari tadi menunggu ku di Pintu keluar.
Belum selesai Ku memasangkan tali2 sepatu, bapak2 yg munculkan tanda tanya diotakku tadi duduk disampingku, menyapa dan kamipun hanyut dalam perbincangan yg akrab.
Ternyata benar apa yg ku pikirkan. Awalnya, karena si bapak melihat sosok gondrong dg celana jeans jadi Imam, si bapak memilih tuk shalat sendirian. "setelah saya dengar bacaan jendengan, saya milih tuk ikut berjemaah" kata si bapak mengulas ceritanya.
Ku hanya bisa tersenyum mendengar cerita si bapak dan menjawab:"kebetulan ja pak e...".Si bapak tetap saja bercerita, sesekali pujian yg sama terlontar dr mulutnya. Kami trus melangkah menyisiri taman-taman hotel yg semakin indah di bawah cahaya lampu taman yg tertata apik.




By: Betri Wendra

(Photo: Photografer KSBN)

AKU YANG KONTROVERSI.... Katanya!!!

Dianggap Aneh, Kontroversi. Itulah penilaian mereka terhadap Ku.
Ku akui, tidak sedikit pemikiran bahkan tindakkanku yg besebrangan dengan kebanyakkan orang. Bahkan pernah seorang Dosen memiringkan jari tunjuk di keningnya, tuk menggambarkan penilaiannya terhadap ku. Walau kemudian beliau menyadari kesilafan itu. Pada dasarnya, pemikiran dan tindakkan itu bukan sesuatu yg sengaja ku adakan, namun memang begitulah adanya.

Mungkin banyak orang yg tidak suka dengan apa yg aku tulis di sini.
Bagiku kita hidup di dunia ini hanya sendiri. Keluarga, karib kerabat dan semua orang yg pernah dan akan kita kenal hanyalah ujian buat kita.

Dulu ku percaya Sahabat, kekerabatan dan semisalnya itu nyata adanya. Waktu jua yg kemudian menunjukkan kepada Ku, mereka semua tak lebih dari ilusi yg didengung-dengungkan para pemuja sosialis (lebih tepatnya: penjilat bermuka seribu) dan segerombol orang-orang manja yg tak mampu tegak dg kakinya sendiri.

Tapi, jangan salah sangka. Walau ku tak percaya akan keberadaan seorang Sahabat. Namun Ku sangat hati-hati menjaga hati orang-orang di sekitarku. Ku sangat kuatir jika kata-kataku menyinggung perasaannya. Pastinya ku bukan mereka yg giginya lebih lunak ketimbang lidahnya saat beraksi menipu mangsa.
TanganKu juga tak terkalung di leher, saat ku bisa menjulurkannya semampuku.
Jujur, Ku lebih suka membisu, jika perkataanku akan tidak disukai.
Ku lebih memilih tak menatap mereka, karena hanya akan membuat mereka songong.
Karena tak ada kebenaran yg baku di sini.

Begitu jg keberadaan kerabat bagiku. Walau ku tak meng-ada-kan mereka (istilah seorang guru alam). Namun, Ku selalu membagi senyum terindahku, selalu berharap bisa berbuat yg terbaik buat mereka. Ku bukan dia yg dengan nyata telah diubah nasibnya oleh yg maha mengubah nasib, dari penjaja tak bersandal hingga kini berkalungkan titel dan kemewahan. Namun sayang tak banyak yg bisa dia bagi untuk orang kampung yg selalu mengelu-elukannya.

Ku jg sendiri tanpa keluarga. Bukannya ku tak cinta keluarga, bahkan ku sangat dicemburui oleh saudara2ku. Namun, seperti yang ku tulis, ku hanya ingin menjaga perasaan mereka.

Kau yg bermuka minyak... Tak usah kau pahami kata-kata ini.
Percuma, kau takkan mengerti, dan mungkin takkan pernah.

By: Betri Wendra