Selasa, 18 Agustus 2020

Aku dan Matematika

 [C]

Aku mencoba mengingat-ingat, bagaimana akhirnya ku bisa terjatuh dipelukkan Matematika. Ku sisiri sungai kehidupan yang telah ku lewati. Ku temukan wajah One di hulunya, mata air kehidupanku. One-ku tak tamat sekolah dasar, memang. Tapi bukan One yang tak mau. Kondisi waktu itulah yang tidak memungkinkan anak-anak di kampungnya untuk bersekolah, apalagi anak perempuan.


Waktu aku masuk SD, aku belum bisa baca-tulis huruf latin. Tidak lebih dari lima huruf yang bisa ku tulis. Itu pun berantakkan. Tapi jika disuruh baca al-Qur-an di halaman mana saja yang ditunjuk, dengan mudah akan bisa ku bacakan, bahkan lengkap dengan irama Bayyati, Hijaz, dan kawan-kawannya itu. Hal yang demikian berlaku umum bagi anak-anak seumuranku di kampung kami. Begitupun dengan angka, menyebutkan satu sampai sepuluhpun aku hafal. Barulah di pertengahan kelas dua aku lancar membaca, bahkan juga berhitung.


Untuk managemen keuangan keluarga kami sepenuhnya diatur oleh One. Setahuku, Abak tak pernah pegang uang. Semua uang yang diperoleh Abak diserahkan ke One. Jika Abak butuh uang, Abak minta dulu ke One. Perputaran uang di keluarga kami selalu dalam kontrol One. Dan dalam hal ini, One sangat bisa dihandalkan.


Tiga kilometer dari kampung kami kearah pantai adalah Pasar Baru. Pasar ini selalu ramai di hari senin. Sehingga orang kampung lebih mengenalnya dengan “Pasa Senen” atau “Pasa Senanyan” yang berarti pasar senin. Dua istilah inilah yang kerap kali menyulitkan orang kampung kami saat pertama kali ke Jakarta. Karena di Jakarta, Senanyan dan Pasar Senen, dua tempat yang berbeda. Di Pasa Senen inilah One berbelanja kebutuhan dapur selama seminggu.


Setiap pulang dari pasar, One akan memanggilku. Lengkap dengan pena dan kertas, layaknya seorang sekretaris, aku akan menuliskan nama barang dan harga yang disebutkan One. Setelah semuanya lengkap didiktekan, atas perintah One, akupun menotalkannya. Dari laporanku itu, One akan menyocokkan antara sisa uang dengan uang yang dibawa ke pasar. Dan tersenyum lega setelah debit dan kreditnya sama. Dalam hal hitung-menghitung ini, sekalipun One tak pernah menyalahkanku. Jika debit dan kreditnya tidak cocok, One akan memikir-mikir lagi, “apo lai yang alun batulihan?.”


Dikemudian hari aku menyadari, lewat kebiasaan ini, One telah dari awal menyiapkanku menjadi penyuka Matematika. Dan kini, gelar master di bidang Matematika ini ku persembahkan buat One. Sehingga aku pun tersenyum lega, persis seperti senyum One waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...