Jumat, 08 November 2013

Masa kecil penuh mistis

Perbincangan ringan dengan mas Robbi Habibi pagi ini mengingatkan aku pada kitab berbahasa arab melayu gundul, peninggalan Amak(Nenek)ku yang diserahkan padaku beberapa bulan sebelum Amak meninggal. Kitab itu sudah berumur, sangat jelas sejak pertama kali aku membukanya. Aku entah generasi keberapa yang memegangnya. Masalahnya saat ini adalah dimana kitab itu sekarang, aku lupa menaruhnya dimana. Setelah ku coba membawa ingatan kemasa penuh haru itu barulah ku berani meyakinkan diri, kekuatiranpun menguap.

Kembali kemasa kanak-kanak selalu mampu membuatku tersenyum lepas. Ku coba menguraikan dan begini jadinya.
Aku terlahir di tengah masyarakat yang gemar berkelahi. Masalah kecil dengan mudah membiak jadi besar. Perkara anak ingusan tak jarang membikin dua keluarga tiga turunan tak bertegur sapa. Tapi itu dulu, sekarang lain cerita.

waktu masih kelas I sekolah dasar, hampir tak ada hari aku lewati tanpa tidak berkelahi. beragam gaya, dari lengkap berpakaian dan di tanah lapang, hingga kalalatu kalawa indak babaju indak basirawa, di tengah sawah yang berlumpur pula.

Suatu kali, karena sangat terobsesinya jadi orang bagak, aku pernah otodidak bak seorang pendekar, berlatih bela diri di dalam Gua di kaki bukit, tidak terlalu jauh dari perkampungaku. Saking asyiknya aku tertidur hingga bermalam di sana.
Untung saja inyik dan hantu blau tidak menyadari keberadaanku.

Cerita ini aku persingkat,
Begitu berliku petualangan mistisku di masa kanak-kanak dan remaja. Pernah mau berguru ilmu kebathinan pada seorang guru di kampungku, namun ditolak, waang masih ketek, si guru beralasan. Pernah juga berguru pada adik kakekku di kampung sebelah, beliau pernah jadi guru spiritual seorang bupati di kota P. Dua tahun bolak-balik, tak kenal siang atau malam, alhasil dua buku bintang obor penuh dengan ayat-ayat pekasih, pamanih, adat-adat berjalan, makan dan ilmu-ilmu lainnya.
Dan terahir sebuah kitab pemberian Amak. Pernah suatu kali Amak bercerita, dulu di ladang kakek pernah kecurian dan anehnya si pencuri tak sadarkan diri, hanya mengelilingi ladang, terus sampai kakek datang menegurnya. Ilmu itu ada di kitab ini kata nenek saat menyerahkan kitab itu padaku.
Tapi aku belum percaya, makanya tak sungkan aku menceritakannya di sini.

Senin, 04 November 2013

Hijriah, revolusi ke-1435

Oleh: Betri Wendra Syailendra

Matahari memudur di barat,
angkasa raya bersorak-sorai kegirangan,
angin riuh berkejar-kejaran.
Pun awan punya caranya sendiri meriahkan akhir 1434 ini,
ya, ini jam terakhir, menit terakhir, dan
sebentar lagi detik terakhir untuknya.

Alunan suara muazin petanda reinkarnasi,
kelahiran hijriah baru.

Belum ada yang berubah padaku, pada bangsa ini.
Hanya mampu berkoar, menyalahkan sesama,
merutuk terus dalam hati tanpa aksi.
Selemah-lemah iman, bisik iblis.

Bumi manusia menunggumu, duhai diri.
Kau disusui dan dibesarkan di sini,
di negeri impian para penjajah ini.
Tak pandai balas budi, makiku,
anjingpun akan setia, berbakti pada tuannya.

wahai kau, ya kau...
Buang kepicikkanmu,
jangan berlagak jadi Tuhan,
kami muak, keparat.

Kini 1435,
kata orang-orang macan yang tidur ini akan mengaung,
seperti benua biru tinggalkan "Dark Age" mereka,
di abad pertengahan.

Ini, Ke-1435 kali sang waktu mengulang petuahnya:
"Mulailah revolusi kalian,
mulai...."

(Photo: http://farm5.staticflickr.com/4018/4230917444_1883444dba_z.jpg?zz=1)