Kamis, 12 Januari 2017

Pujianmu (Bukan) Untuk Ku

"Don't look the book just from the cover," begitu kata orang-orang yang sering tertipu dengan penampilan luar seseorang. Belakangan ini semakin tinggi frekuensi orang-orang memuji saya. Terus terang ini sedikit mengganggu bagi saya, walau tak saya tampakkan kepada mereka yang memuji. Saya merasa saya telah menipu mereka, atau setidaknya mereka yang telah tertipu. Sengaja saya tidak mengulas pujian-pujian itu di sini karena saya merasa itu semua bukanlah saya.
Karenanya saya merasa perlu pula untuk menuliskan tentang siapa sebenarnya saya. Walau tentu tidak semua kelemahan diri pula akan saya beberkan. Hanya yang saya rasa ada manfaatnya bagi pembaca saja. Sebelumnya saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah menutupi aib-aib saya, dan semoga Allah swt. tetap menutupnya hingga datang masanya ketika semua aib di buka sebuka-bukanya.
Saya terlahir sebagai seorang anak yang cepat marah. Saya katakan "terlahir" karena sudah sedari kecil saya merasakannya, walau tidak terlalu kentara. Saya tidak mengerti apakah ini faktor keturunan, pengaruh makanan, ataukah lingkungan tempat tinggal saya. Kebingungan inilah yang kemudian mendekatkan saya kepada ilmu-ilmu psikologi.
FAKTOR PERTAMA, mungkin benar adanya. Saya melihat hal itu ada juga pada bapak saya. Waktu mudanya bapak adalah seorang pemain bola di kampungnya. Badannya yang besar dan kokoh menjadikannya Center back yang susah dilewat lawan-lawannya. Di luar lapangan, bapak layaknya pemuda waktu itu, sangat suka berkelahi.
PENGARUH MAKANAN, bisa jadi. Saya terlahir sebagai orang Minang, yang tak perlu ditanya lagi soal makanannya. Kalau bikin gulai, kuahnya pakek. Rasanya yang super pedas tentu barang pasti. Gulai yang full santan kelapa akan menimbulkan kolesterol, ujung-ujungnya berpengaruh pada tensi dan Jantung, ditambah pula dengan cabe yang pedas menyengat. Bisa dibayangkan bagaimana kemudian orang-orang yang mengkonsumsi makanan-makanan seperti itu.
FAKTOR TERAKHIR, tentu sangat mungkin. Hidup di tengah masyarakat yang kacau darisegi kedewasaan, ekonomi, dan tata tertib dalam kehidupan. Di tengah-tengah bangsa yang "galau" meminjam istilah guru saya. Barang tentulah menyubur-kembangkan bibit-bibit emosi yang sejatinya sudah ada ini.
Dulu, sifat pemarah saya ini pernah di titik terendahnya. Saya menjadi sosok penyabar, bahkan sangat penyabar. Hal itu bermula sejak saya diajak i'tiqaf selama tiga hari oleh serombongan orang-orang berjubah-bersurban layaknya Imam Bonjol. Setelah saya rutin mengikuti aktifitas mereka saya menjadi apa yang saya sebut di atas. Saking penyabarnya, pernah suatu kali kami khuruj (istilah yang dipakai orang-orang ini untuk menyatakan pergi berdakwah dari suatu tempat ke tempat lain) ke daerah, yang konon, paling terisolir di sumatera, Garabak Dalam masuk kabupaten Solok waktu itu. Di sana rombongan kami di tolak. Mereka menuduh kami aliran sesat. Padahal kami hanyalah rombongan yang sudah seminggu lebih tersesat di hutan belantara pegunungan Bukit Barisan sebelum sampai di kampung mereka. Kami diusir, dilempari batu dan apapun, bahkan diancam dengan anjing buruan, yang masing-masing mereka memegangnya, jika tidak segera angkat kaki dari kampung mereka. Anehnya bukan marah atau emosi yang saya rasakan, malah yang terpikir waktu itu hanya baginda Rasul ketika di kampung Thaif.
Sudah lama sekali saya tidak mengikuti orang-orang berjenggot itu. Rasanya sifat emosional saya semakin terpelihara. Pada dasarnya saya sangat pandai meredam marah yang saya rasakan. Hanya saja saya paling tidak bisa melihat orang pongah dihadapan saya.
Ketika saya di Pontianak beberapa waktu lalu, sesekali muncul juga amarah saya. Pernah sepulang dari kampus, dipersimpangan jalan seorang preman pasar dengan tato disekujur tangan dan kakinya, ugal-ugalan dan hendak berbelok tanpa menghiraukan saya yang hendak mengambil jalan lurus. Belasan meter ketika dia hendak berbelok saya piuh gas motor, bermaksud hendak menabrakkan motor saya ke motor si preman. Sayang dia berhenti di tengah sehingga tidak jadi betabrakkan. Saya pelankan motor dan melihat ke arahnya. Diapun sedang melihat ke saya. Tatapan kami bertemu, namun dalam tegangan tinggi. Saya belokkan motor bermaksud menghampirinya. Tapi dia sudah lari kecemasan.
Sebelumnya pernah juga ketika saya mengajar di IAIN. Suatu pagi ketika hendak memarkirkan motor. Seorang Satpam menghardik saya di kejauhan. Dia menyuruh saya membalik kepala motor saya. Dengan isarat tangan saya panggil si satpam, yang konon bersabuk hitam di salah satu aliran silat daerah, mendekati saya. Melihat wajahnya yang tiba-tiba memelas saya suruh saja dia membalikkan motor saya.
Terakhir waktu di bandara Supadio Pontianak ketika pulang kemarin. Saya dan istri hendak sembahyang zuhur. Saat kami berbelok ke arah Mushalla, saya dihentikan dengan agak kasar oleh seorang tentara yang sebelumnya telah bicara keras ke orang di depan kami. "Hey hey hey kemana anda?," katanya menunjuk ke arah saya. Saya hampiri dia, dengan muka marah, "saya mau shalat." Dalam benak saya, "kalau orang ini bicara tidak sopan lagi mau saya raih kerah bajunya." Diapun mulai melunak menjawab dengan memperlihatkan muka takutnya.
Jujur saja, setelah masalah-masalah yang saya kemukan di atas, terpikir juga bagaimana kasudahannya kalau alur ceritanya berbeda. Memikirnya tak jarang membuat nyali saya ciut juga. Hehe...
Saya ingin jadi penyabar, dan saya akan terus berusaha. Hanya saja saya mulai muak dengan pujian orang ke saya yang sebenarnya itu bukan saya. Tapi saya suka orang menilai saya lemah, seperti yang saya tunjukkan ke orang kampung saya, rasanya lebih damai.