Senin, 11 Mei 2015

Sang Pemenung (Kutipan dari tulisan pribadi)

Dulu, waktu masih berstatus anak sekolahan, bila ditanya apa hobiku selalu ku jawab, melamun. Dalam lamunan ku membayangkan kehidupan yang ideal menurut pikiranku. Tentang cita-citaku menjadi astronot. Juga tentang solusi dari masalah yang menjadi buah pikirku. Tak jarang semua itu ku tuliskan dalam note yang selalu ku bawa ke mana pergi. Kadang ide keluar begitu saja, tak kenal tempat dan waktu. Sedang di angkot, lagi berjalan, lewat mimpi, bahkan sedang asyik di toilet sekalipun.

Di masa putih-biru. Ku lihat ruangan kelas, gersang. Sehingga aku gantung puisi-puisi dan kata mutiara yang ku tulis di karton yang ku bingkai sendiri dengan pelepah Sagu. Di waktu yang lain, aku membayangkan sekolahku yang ditengah sawah yang tak berpohon lindung itu, dipenuhi pepohonan rindang dengan taman bunga nan beraneka ragam warnanya. "Alangkah indah dan nyaman untuk belajar," khayalku. Sejak pikiran itu terlintas, aku mulai membibitkan biji pohon yang ku ambil dari buah pohon di tepi jalan raya. Beberapa batang hidup subur hingga selutut di polybag yang ku buat sendiri. Waktu itu di akhir-akhir kelas tiga. Melalui OSIS kami serahkan pohon yang telah selutut tingginya itu ke pihak sekolah. "Kenang-kenangan dari kami pak," kami beralasan.
Beberapa tahun setelah kami tamat, kami silaturahmi ke sekolah. Senang betul hatiku melihat pohon yang kami tanam itu tumbuh subur. Sudah seatap sekolah tingginya.
Di masa-masa aku banyak khayal itu, aku juga sering mimpi menjadi penemu. Suatu kali aku bermimpi menemukan teknik terbang di ketinggian sepuluh hingga duapuluh meter tanpa alat bantu. Pernah juga mimpi menemukan mesin pemanen buah-buahan. Dalam mimpi aku melakukan uji coba ke batang rambutan. Aku tempelkan salah satu bagian mesin tersebut ke batangnya, dalam hitungan detik semua buah rambutan yang matang berjatuhan ke tanah. Mimpi membuat teori integral juga pernah. Yang terakhir, terjadi dalam dua tahun ini. Mungkin karena sebelum tidur oret-oret tentang integral Lebesgue. Juga tesisku,, pun berawal dari mimpi dalam tidurku. hehe...
Menjelang tamat SMA, adalah waktu-waktu di mana aku takut bermimpi, takut bercita-cita. Butuh tiga tahun untuk ku kembali berani bermimpi. Tapi, apa yang ku dapatkan saat ini benar-benar di luar mimpiku. Setidaknya sejak titik balik itu terjadi.
Kemarin, ku balik-balik note-ku. Di suatu halaman tertulis akan membangun taman bunga di bukit Taman Bayang yang terabaikan itu. Aku pernah berkunjung ke lokasi bukit Taman, waktu SMP. Bila ku bandingkan dengan bukit Langkisau yang indah memagari kota Painan itu. Belumlah separuhnya menurut kira-kiraku. Di taman bunga itu didirikan rumah-rumah kecil semacam vila lengkap dengan taman bermainnya. Setiap pasangan yang baru menikah di daerah itu akan di gratiskan berbulan madu di sana selama dua malam, full service. Sebagai upaya memotivasi muda-mudi menikah, dan meningkatkan tingkat kebahagian masyarakat.

Sang Pemenung (Kutip dari tulisan pribadi)

Jika kau pergi ke kampungku. Dari kota Padang, kau akan butuh waktu setidaknya dua jam mengendarai motor. Bila kau telah tiba di pertigaan Gaung yang ramai itu. Matamu akan dimanjakan oleh jejeran buah bengkuang yang diikat-ikat, oleh merahnya keripik balado nan memancing liur, serta masakan khas minang lain yang belum kau tahu walau lewat mimpimu. Di kiri jalan, bus-bus ukuran sedang yang menepi akan manarik pandanganmu. Kaca belakangnya penuh dengan gambar. Ada yang gambar masjid, lukisan pemandangan alam nan hijau, bahkan Buya Hamka yang memakai peci hitam juga ada. Semua bus itu akan melewati kampungku, tapi masih lima kilometer lagi ke kampung kecilku. Karena jalur bus itu terus ke ujung pesisir selatan, tiga jam sebelum perbatasan Bengkulu. Dulu, ada bus yang langsung ke kampung kecilku, bahkan sampai dua puluh kilometer ke utara hingga negeri Limau-limau. Di sana ada objek wisata Jembatan Akar, yang menurut kata orang hanya ada dua di dunia, yang satu lagi itu di hutan Amazon sana. Sudah empat tahun ini bus Mansiro, Bayang Super, Bayang Wisata, dan lainnya itu tak kedengaran lagi klakson "pup puuppp"nya itu.
Di hari biasa, sejak subuh pertigaan Gaung sudah ramai oleh lalu lalang orang dan kendaraan. Dan akan lebih padat di hari-hari libur, terlebih lagi sepuluh hari menjelang dan setelah hari raya. Jalan kaki akan lebih cepat dari pada laju mobil.
Seratus meter dari simpang Gaung, di kanan jalan ada Masjid yang bersebelahan dengan pasar Gaung. Waktu kuliah di kota Padang, aku sering sembahyang di sini tiap pulang kampung. Terus berjalan, tiga ratus meter kau akan merasa "amazing". Desiran ombak di kanan jalan yang membelai daun telinga, puluhan kapal besar dikerumuni kapal-kapal kecil yang sedang menepi di pelabuhan Teluk Bayur, semilir angin Samudera Hindia yang menyentuh kulitmu. Semuanya akan merayumu tuk berdecak kagum, memuji kemaha-indahannya.
Jalanmu akan berkelok-kelok menyisir di sepanjang pantai. Matamu akan memandang jauh ke samudera lepas. Di kiri sepanjang jalan, kau akan ciumi aroma Bukit Lampu nan menegangkan itu. Waktu gempa bumi 2009 lalu, bongkahan batu sebesar rumah tipe 36 berguling dari arah puncak bukit dan berhenti di tengah jalan yang kau lewati ini. Untung tak ditabraknya rumah esek-esek yang menyemut di sekitar Bukit Lampu itu.
Kini, kau melewati jalan berbelok, membalik ke belakang Bukit Lampu. Dan tujuh menit lagi kau akan meninggalkannya. Pelabuhan Bungus mulai terlihat di bawah sana. Kapal-kapal besar, kecil terlihat oleh mata. Kota Padang dan pelabuhan Teluk Bayur di balik bukit kau sekarang ini.
Sampai di sini, ku puntar ceritanya biar singkat. Lain kali, jika ada kesempatan akan disambung.
Dari Pelabuhan Bungus hingga sampai ke kampungku, Kau akan melewati sebelas masjid/mushalla di kiri jalan, dan tujuh belas di kanan jalan. Kau akan selalu disuguhi keindahan pantai, kecuali sesekali menjauh dari bibirnya. Nuansa perbukitan, pesona sawah terasering, dan gemericik arus sungai nan deras berkelok akan menemanimu kala pantai tak kau temui. Kau akan melewati daerah yang rawan musim durian. Sehingga kau sampai di pertigaan Pasar Baru Bayang. Jika lurus, kau akan menuju pusat kota, Painan, dan jika terus lagi, setelah enam-tujuh jam sampailah kau di perbatasan provinsi Bengkulu. Tapi kau kan hendak ke kampungku, maka kau akan berbelok ke kiri. Lima kilometer dari sini, matamu akan hijau dengan hamparan sawah bila masih sebulan umur padinya. Tapi akan menguning mendekati musim panen.