Sabtu, 08 Agustus 2020

Review Kehidupan

 [A] Suatu Sore yang tak diambil sebarang


Dulu aku adalah seorang pemimpi berat. Untuk bercita-cita, tak pernah ku ukur bayang-bayangku. Setiap kali guru-guru di kelas bertanya tentang cita-cita, dengan penuh percaya diri ku katakan: "Jadi Astronot." Ku kerja keras belajar, menjadi penggila bacaan, buku apa saja. Tak kurang tiga buku tiga ratusan halaman tamat ku baca tiap bulannya. Mengapa astronot?. Aku ingin mencari dunia yang ideal, dunia yang orang-orangnya tidak suka bertengkar, tidak seperti duniaku saat ini, begitu pikirku. Suatu hari ku bilang pada Abak, aku ingin kuliah sampai tua. Waktu itu, dengan tersenyum meyakinkan Abak berkomentar, "Abak akan kuliahkan sampai di ma waang sanggup." Namun, dikemudian hari kata-kata itu teramat sangat ku sesali. Aku merenung, mungkin saja kata-kata itu telah membuat kerut di kening Abak semakin banyak.


Aku memang tak banyak bercerita ke orang-orang, bahkan juga ke keluarga tentang impianku. Kecuali beberapa pada Abak. Impian itu hanya ku tulis di buku diary yang menjadi teman curhatku waktu itu. Hingga SMA, aku selalu merawat impian yang tak mengukur bayang-bayang itu. Hingga peristiwa besar sepulang sekolah, menjelang kelulusan itu. Hanya dengan satu kalimat, telah mengoyak berbuku-buku impian yang ku tulis, meruntuhkan bangunan impian yang bertahun-tahun ku bangun. Langit sore yang sedari tadi cerah biru mengggantung di atas sana, pun serasa gelap seketika. 


Sejak detik itu, mulailah ku mematut-matut diri. Ku menjadi teramat pesimis. "Aku ingin jadi petani saja," begitu pikirku waktu itu. Di tengah kemurungan panjang yang ku sembunyikan. Suatu hari, silaturahmi dengan seorang teman lama menyirami kembali benih-benih harapanku. Ku berjalan di antara ikhtiar penuh dan mimpi yang dibatasi fungsi kendala yang ku bangun sendiri.


Dan sore ini, di sudut universitas tertua di negeri ini. Ku putar lagi titik balik itu. Ku merasa tak percaya. Bagaimana aku sampai di sini. Lebih tak percaya lagi, sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini. Ingin rasanya ku menampar pipi, agar lekas ku terbangun dari mimpi ini. Namun, ku lihat sekeliling, mobil di jalanan berjalan normal, gelak pak satpam yang duduk tak jauh dari ku telah cukup meyakinkanku, ini nyata. 


Abak, lihatlah anakmu sekarang. Senyumnya semakin manis. Namun yakinlah, dia masih anak bujangmu yang dulu juga. Anak bujang yang sampai SMP makannya masih juga kau suapi dengan tangan yang kau pakai tuk menggenggam 'ulu tajak' itu.


#------#

Sore ini, lewat tulisan ini. Ku sampaikan Terima kasih takberhinggaku kepada temanku Nafnaldi yang dulu telah menunjukkan jalan bagiku, saat semuanya mulai memudar. Suatu saat ingin pula ku sebut satu persatu nama-nama yang telah menjadi tangan-tangan Tuhan bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...