Sabtu, 30 Mei 2020

Menyesal

Orang bilang menyesal itu selalu datangnya kemudian. Untuk bisa menyesal dulu sebelum semuanya terlanjur dibutuhkan kesadaran akan hubungan sebab-akibat. Sejalan dengan itu aku melihat gairah mahasiswa (di sini) dalam belajar sungguh mengkuatirkan. Buku, yang seyaknya jadi teman yang dibawa kemana pergi, sudah menjadi barang langka. Sangat sulit menemukan mahasiswa sedang bersitungkin baca buku. Tak perlu mencarinya di luar kelas, karena memang tak mungkin ditemukan, di dalam kelas ketika kuliahpun sulit menemukan mahasiswa yang di atas mejanya ada buku referensi (walaupun iya di kelas tak ada meja bagi mahasiwa.. hehe). Andai saja semangat mereka dalam belajar sama dengan kegasitan mereka dalam menyelip kendaraan lain di jalanan, dan seandainya ketelatenan mereka dalam menyusun jadwal belajar sehebat mereka menemukan jalan-jalan pintas saat sore dilanda macet. Ya, seandainya...

Kembali ke kata menyesal. Akupun menyesal juga kenapa dulu tak belajar lebih maksimal. Sekali lagi, andai saja. Tentu saja standar yang aku maksud tak bisa dibandingkan dengan mahasiswa yang dimaksud dalam status ini. he he ....

Terkait kemampuan untuk menyesal sebelum menyesal itu benar-benar datang, aku teringat akan kebiasaan dulu dengan teman kost, Ucok, begitu aku memanggilnya. Seperti maklumnya mahasiswa, makan di warung murah, pakai telur dan sedikit sayur. Kadang cukup dengan tempe doang. Semuanya disesuaikan dengan lembaran di kantong, yang isinya lebih sering melompong. Tapi kami punya ritual yang mampu menghadirkan rendang dan ayam goreng sebgai pengganti. Yang tersuap ke mulut boleh saja telur atau tempe, tapi mata yang terpumpun yang tak lepas-lepas dari rendang dan ayam goreng di rak-rak warung mampu meyakinkan lidah kami bahwa yang masuk ke mulut itu adalah ayang goreng atau rendang.

Selasa, 05 Mei 2020

Dosen atau Petani?

 Hari ini hari pertama bibit pepaya dipindahkan ke tanah lepas setelah sebulan lamanya ia hidup terkurung di polybag berdiameter sepuluh sentimeter. Hari pertama hanya sepuluh batang yang mampu dipindahkan. Hari ini stamina tidak terlalu fit. Bangun kesiangan tepat saat azan subuh. Lagi pula istri tidak bisa ditinggal lama. Ini hari-hari menjelang kelahiran anak kedua kami, adeknya Rumi.
Saya ikut bertani sejak masih sekolah dasar, membantu Abak. Seperti halnya juga anak laki-laki seumuran di kampung kami. Tanaman yang paling sering ditanam di antaranya Jeruk, Pepaya, dan Cabe. Ilmu bertani kemudian saya pelajari ketika kuliah di Jogja, juga ketika mengajar di Pontianak. Sepanjang pengalaman saya melihat, mereka yang sukses bertani bukan yang kuat tenaganya walau bertani butuh tenaga, bukan yang banyak ilmu pertaniannya mesti harus ada ilmunya. Semua petani yang sukses memiliki keistiqomahan. Mereka terus saja bertanam, satu atau dua batang setiap hari. Mereka memiliki kepekaan terhadap tanaman seolah mengerti bahasa tanaman.
Bertani tidak harus nungggu modal banyak untuk memulai. Mulai saja menanam. Bertani tidak selalu berhasil walau semuanya sudah direncanakan dengan baik.
Saya kembali ke Jambi awal 2017 setelah setahun lebih di Pontianak. Waktu itu saya mulai berpikir apa yang harus saya lakukan untuk menenuhi kebutuhan sehari-hari. Walau mengajar di Perguruan Tinggi Negeri sebagai seorang dosen, gaji saya jauh dari mencukupi. Dosen DLB, begitu kawan-kawan menyebutnya, itulah status saya waktu itu. Mengajar awal tahun gajiannya pertengahan tahun depan. Tak usah kita sebut nominalnya, malu kita. He he ... Tapi ya alhamdulillah, takut disebut tak bersyukur pula. Beruntungnya status dosen DLB tidak lama bertahan. Tidak sampai satu semester status saya berubah menjadi dosen DTNP, Dosen Tetap Non PNS, hingga akhirnya lulus CPNS 2018, masih di kampus yang sama.
Waktu berstatus dosen DLB itu saya pernah bertanam Cabe Rawit di tanah kakak seluas sepuluh tumbuk. Segalanya sudah saya rencanakan. Harga waktu panen sudah saya ramal, dan terbukti bahkan lebih. Bibit yang disemai tumbuh subur. Namun apa dikata, hari-hari itu datang. Hari-hari di mana saya terlalu sibuk di kampus. Hampir seminggu bibit rawit tidak saya lihat. Seharusnya hari itu bibit mesti ditanam di lahan yang sudah saya siapkan sebelumnya. Naasnya semuanya telah bergelimpangan, mati di-'kakeh' ayam. Hari itu hari terakhir saya ke ladang. Semua rencana buyar. Harga cabe rawit yang sudah saya ramal itu, yang mencapai seratus limapuluh ribu rupiah perkilonya itu tidak dapat saya nikmati.
Tahun ini girah bertani saya kembali. Setelah bertetangga dengan Cak Imam, dosen baru asal Lamongan. Naluri ramal saya kembali. Semuanya sudah saya rencanakan. Lebih hebat dari rencana yang gagal itu. Kali ini saya tidak mau menyerah, pun nanti gagal lagi. Berbagai tanaman sudah saya siapkan. Proses hulu hingga hilirnya sudah matangkan. Tanah seluas limabelas tumbuk dalam proses persiapan dari yang semulanya semak belukar. Sepuluh tumbuk milik pak Hasbi, rekan sesama dosen dulu, yang juga sama-sama lulus PNS. Lima tumbuk sisanya juga numpang di lahan sebelahnya. Baru separuh yang siap ditanami, ditanami saja dulu. Apa boleh buat bibit Pepaya sudah memaksa ingin segera dipindah. Lebih cepat dari yang direncanakan.
Dari pepaya ini, semoga tahun depan terbeli tanah satu hektar. Ini rencana 3 tahun ke depan. Lokasinya sudah ada. Sudah diramal pula. Langkah perlangkah apa yang akan dilakukan sudah ada. Tinggal duitnya yang belum ada.
Semoga tahun depan bisa bertanam di lahan sendiri. Amin.