Jumat, 19 Juni 2020

Keagungan Malam

Permulaan hari ini, dua tahun silam.

Jam 00.00

Malam ini, beberapa menit yang lalu seorang teman yang juga keponakanku mengirimi aku pesan singkat. Begini bunyinya: "Coba mamak keluar skrg liat langit mak". Terang saja aku penasaran. Aku melompat dari red karpet tempat tidurku, bergegas melangkah ke depan kost. Beberapa saat ku pandangi langit. Mataku tak berkedip, menahan rasa penasaran yang tiba-tiba mendera. Langit lumanyan cerah malam ini. Warna biru masih mendominasi. Kerlap-kerlip bintang seolah mengedip manja ke arahku, bak seorang pelacur yang waktu itu berdiri menggoda menjajakan miliknya padaku. Ku urut pelan selatan ke utara. Tak ada yang aneh, masih bintang jua yang berkedip. Ku percepat mengalihkan pandang, ke semua arah yang langitnya tak tertutup gedung-gedung angkuh. Sama saja. Aku seperti orang kehilangan, kalang kabut mencari-cari, lirik sana-sini, tak jua ku temui yang ku cari.

Dengan sedikit kesal, ku balas pesan singkat temanku, ku tulis: "Msh bnyk bintang, walau agak berawan. Mang knp?". Terpikir oleh ku, pasti di sana dia terbahak kegirangan karena berhasil mengelabuiku. Awas saja nanti, akan ku balas. Tak lama berselang, sahabat mungilku kembali berdering, petanda masuknya pesan singkat. Ya, dari dia, bertuliskan: "Tdk ad ap2 mak. Indah kn mak? Tdk ad yg bs menandingi ciptaan Allah.". Sejenak ku tertegun, menyadari kesilafanku. Aku merasa telah meremehkan ciptaan Tuhanku yang maha agung. Saat kita menyaksikan keindahan menara eiffel, pasti lidah kita akan berdejak kagum. Merasa itu luar biasa. Namun, adakah keindahan menara eiffel jika dibandingkan dengan alam semesta ciptaan Tuhan ini?. Ini hanya masalah sering dan jarang kita lihat saja.

Lama ku berpikir. Lamunan membawaku ke tahun-tahun pertama waktu kuliah di kota Padang, kotaku tercinta. Delapan bulan lebih aku tinggal di perumahan TVRI Padang. Tepatnya di Jati Adabiah, dekat SMA Negeri 10 Padang. Begitu panjang untuk diceritakan, hingga aku bisa sampai di sini. Aku puntar saja biar singkat. Sebenarnya aku tidak tinggal di salah satu rumah di perumahan ini. Aku tinggal di Mushalla di sudut perumahan. Awalnya aku hanya menumpang dengan bang Diki, teman yang baru ku kenal yang dikemudian hari ku anggap kakak sendiri. Bang Diki sudah semester akhir saat aku pindah ke sini. Hanya satu dua bulan kami bersama di Mushalla TVRI. Hingga tinggal aku seorang diri. Sebagai seorang “Garin Mushalla”, setiap hari aku harus mengayun tangkai sapu, mengajar mengaji selepas magrib, hingga mengimami sembahyang orang-orang penghuni kompleks TVRI ini. Bagiku ini anugerah yang luar biasa. Di saat jalan untuk bisa kuliah benar-benar telah buntu. Karena ikhtiar bumi yang memang tak kunjung sejalan dengan takdir langit. Kampus impianku, Institut Pertanian Bogor telah menerimaku. Namun, keadaan menyadarkanku untuk tak berharap lebih. Membuatku gamang tuk melangkah.

Hidup sendiri di kompleks ini, benar-benar aku bangat. Aku memang suka menyendiri. Kesunyian membuatku ramai. Di samping Mushalla menjulang tinggi menara TVRI, sempurna sudah hidupku. Menara inilah yang hadir dalam lamunanku malam ini,berawal dari pesan singkat temanku tadi. Akhir 2007 silam, hampir tiap malam tak ku lewati tanpa duduk menyendiri di atas menara ini. Malam semakin larut, dinginnya hembusan angin semakin menusuk tulang. Pun begitu, tak menghalangi langkahku untuk menapaki tangga menara yang beribu banyaknya itu. Aku sampai di puncak. Lantainya dari besi padu yang luasnya delapan kali kamarku. Dingin di atas dingin. Dingin angin malam bersekutu dengan dingin lantai besi beserta dinginnya ketinggian. Kesemua-mua sirna ditelan keindahan panorama yang tersuguh di bola mataku. Dari atas sini, semua sudut kota jelas terlihat. Lampu-lampu gedung bertingkat. Lampu kendaraan yang wara-wiri di jalanan. Cahaya dari rumah-rumah di atas gunung yang melingkari kota. Lampu-lampu kapal yang menyemut di sekitar pantai, sungguh pemandangan yang menakjupkan.

Desiran ombak di pantai Padang nan luas begitu jelas di telinga, seolah memanggil-manggil untuk berenang dan berkejaran. Walau tak terhitung sudah kali keberapa aku berada di puncak menara ini. Tetap saja kekagumanku tak pudur, terhadap keelokan malam di negeri yang katanya beradat ini. Di puncak menara ini, aku leluasa memandang birunya langit malam yang berhiaskan bintang-gemintang. Di puncak menara ini di tengah lelapnya kota, ku ingin menatap wajah-Nya yang akan turun ke langit terdekat, seraya berseru: “… Adakah malam ini yang memohon kepadaku, Aku akan kabulkan permohonannya...”. Di puncak menara ini, aku selalu menanti-Nya, merindui-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...