Selasa, 22 April 2014

Runtuhnya Surau Kami (II)

Penulis: Betri Wendra S.

Jika ku kenang masa-masa itu, belasan tahun yang lalu di sebuah kampung bernama Lubuk Anau. Konon ceritanya, dulu banyak lubuk di sini dan di tepinya tumbuh subur pohon enau, itulah sebab karenanya orang-orang menamai kampung ini Lubuak Anau (dikemudian hari menjadi Lubuk Anau). Di kampung inilah aku dilahirkan oleh seorang wanita yang memesona, wanita penebar cinta dalam diamnya. Wanita yang menyadarkan aku bagaimana memperlakukan wanita, mengajarkan aku untuk mengikhlaskan.

Hembusan angin mulai terasa dingin menyentuh. Garangnya sinar mentari pelan-pelan sirna, ditelan keangkuhan bukit kuburan yang tak jauh dari "tapi aia" (sungai) tempat kami memberi minum kambing-kambing kami, bocah kampung anau. Rasanya baru saja waktu sembahyang asar masuk, sayup-sayup mulai terdengar pula suara orang mengaji di masjid, petanda sembahyang magrib tidak lama lagi. Waktu asar benar-benar pendek, sampai-sampai orang siak (alim) memaknainya dengan waktu yang singkat (Wal’ashar: Demi waktu yang singkat). Bahkan ada nasehat yang masyur dikalangan orang tarikek (sufi/tarekat), “Hidup di dunia hanya sebentar, antara waktu asar dan magrib saja”.

Di sepanjang jalan pulang, sambil mengiring kambing di belakang, kami ngobrol kesana-kemari becanda apa saja. Suasana ini teramat ampuh membesarkan hati kami, membuyarkan keletihan karena mengembala dan menyabit rumput seharian. Pun sepasukan kambing yang berjalan kekenyangan tak luput dari candaan kami. Langkah ku percepat mendekati kambing jantanku, saat dia akan melangkahkan kaki kanan belakangnya, aku sembek si kambing jantan hingga kaki-kaki belakangannya beradu dan nyaris terjatuh. “Mmmbbeeekkk” rengek si kambing jantan, kamipun terbahak seolah tak menaruh iba pada si kambing. Bagitulah candaan kami terus hingga pintu rumah memisahkan kami.

Sembahyang magrib telah usai, aku duduk manis di ubo (tempat duduk dari campuran semen dan kerikil, biasanya dibuat di tepi jalan depan rumah) menunggu teman-teman pergi mangaji. Di kampung anau, hampir semua anak-anak mengaji ke surau. Ada dua tiga surau, dan waktunya selalu setelah shalat magrib. Aku dan beberapa teman dekat rumah mengaji ke kampung sebelah, kampung Koto Jua, sekitar satu kilo dari rumahku. Karena di kampung anau tidak ada guru irama (membaca alqur-an dengan menggunakan tujuh irama, sering juga disebut tilawah), kalaupun ada, merekapun murid dari guru surau kampung Jua.

Kami hampir sampai di rumah Pak Mamek, guru mengaji kami. Sebenarnya nama beliau Pak Mahmud, akupun tak tahu kenapa beliau dipanggil Pak Mamek. Mungkin karena lidah orang kampung terlalu manja untuk bergerak atau karena tidak terbiasa berbahasa arab. Pak Mamek adalah Qori kabupaten. Kabarnya beliau pernah juara satu di MTQ tingkat kabupaten Pesisir Selatan. Beliau sangat tegas dalam mengajar. Kalau beliau sudah duduk di tengah-tengah kami, jangan harap terdengar suara barang seorangpun. Semua menunduk, pandangan tak lepas mengikuti liukan huruf-huruf di kitab alqur-an yang kami pegang. Palacuik (pelecut dari lidi yang dijalin sebesar ibu jari kaki) di tangan beliau yang selalu siap membelai tangan dan kaki kami yang bermain-main, sungguh menambah ciut nyali. Bagiku, selain Pak Mamek, ada satu lagi yang membuat jantungku tak bisa berdenyut normal, anak gadis beliau yang terkenal elok rupa dan budinya seantero kampung anau-koto jua ini. Kadang dengan mencuri-curi aku coba mengangkat kepala, melihat wajah dibalik mukenah putih itu. Walau sedetik, namun begitu lekat dan langsung bisa kulukis dalam ingatanku.

Bagi kami anak-anak kampung, berurusan dengan wanita adalah pekerjaan yang menguras habis keringat. Alih-alih akan mengutarakan rasa, bahkan untuk menyimpannyapun tidaklah mudah bagiku, begitu banyak rasa-rasa. Pernah suatu kali ku utarakan rasa itu, bibirku kelu dibuatnya, suara bergetar, badanpun menggigil hingga mata bisa kupejamkan dalam lelap.

Mungkin inilah yang membuatku sangat mengilhami kisah Amru Qois sang penggila Laila. Hingga aku bisa merasakan dinginnya angin kota Laila menembus kulit Amr Qois dan ikut memejamkan mata saat angin yang sama di kampung Jua menembus kulitku. Akupun ingin berbisik seperti halnya Amr Qois berbisik: “Bukanlah kecintaanku terhadap kota ini yang membuat aku menciumi setiap dinding di lorong-lorongnya, kecintaanku terhadap Lailalah itu semua aku lakukan. Bahkan walau anjing kurap aku temui di kota Laila, aku akan sangat menyayanginya”.

Kini, kampung anau tak lagi seperti dulu. Lubuk dan enau memang tak ada lagi. Namun bukan itu penyebab kampung anau tak lagi kampung anau yang dulu. Suasana surau yang membuat rindu, guru mengaji dengan palacuik ditangan sudah tak ada lagi. “Paga lah dianjak urang lalu” (Pagar sudah digeser orang lain, maksudnya: Adat kita telah diubah orang lain) atau mungkin kita yang telah menggeser pagar itu.

Yogyakarta, 2 April 2014 pukul 18:56
Photo: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/05/1367564524745478338.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...