Minggu, 08 Juni 2014

PEROKOK, Kaum Mayoritas Yang Tertindas di Negeri Sendiri

Penulis: Betri Wendra S. [19 Maret 2014]


Aku terlahir dari keluarga (bukan) perokok. Bapakku dan bapaknya bapakku (kakekku) mengaku tak pernah merokok (setidaknya begitulah yang ku lihat). Bahkan tidak mustahil Bapaknya Bapaknya Bapakku, dan terus ke atas juga bukan seorang pencandu rokok. Intinya keluargaku adalah (bukan) pecinta rokok sejati.

Pernah suatu kali aku merokok, waktu itu dipenghujung kelas tiga SD. Tepatnya dua tiga hari setelah sunatan. Aku bersama delapan orang teman lengkap dengan sarung masing-masing, maengkang sambil tangan kami menjauhkan bagian sarung yang dekat ke bagian yang disunat. Pagi itu destinasi kami adalah tapi aia (Minang: tepi air) dekat parak (Minang: ladang) pak si Uk. Alasannya sungai di sini lebih berpasir, sehingga cocok untuk kami berjemur mengeringkan bagian yang masih meruyak. Tidak itu saja, entah dapat ide dari mana dan entah keluar dari suara siapa pertama kali, kami mencari batu kali yang mulus untuk di jepitkan ke barang berharga kami ini. Inilah yang kemudian hari menyadarkan aku bahwa dulu aku pernah kanak-kanak, dengan  ngakak habis pastinya.

Tidak berhenti sampai di situ, kegilaan yang dengan sadar kami lakukan terus berlanjut. Bisikan-bisikan aneh terus bermunculan di otak-otak kami, anak-anak kampung. Konon katanya rokok bisa melekas sembuhkan bekas sunatan (dikemudian hari ide ini kuutarakan kepada seorang teman, dokter). “Wah, gilo ko” pikirku, “kalo abak den tau, mati den”, aku terus beralasan. “Dak kompak waang ko do”, seru seorang teman, “dak laki-laki waang kalo indak marokok do”, fatwa teman yang lain. Debat CaPreS (Calon Preman Simpang) ini terus berjalan, sementara beberapa dari kami telah menukarkan uangnya dengan sebungkus rokok berwarna kekuningan. Karena perdebatan berujung alot, kesunyian mulai mengerayang, wajah-wajah polos di depanku mulai menunjukkan ketidaksenangan, bibir mereka mulai tidak simestris. Terang saja pemandangan ini membuatku risau akan dikucilkan. “Oke, Samsu duo batang tek”, ucapku memutus kebisuan. Semua capres akhirnya bertepuk ria, sumringah senyum mereka menyunggingiku.

Itulah dua batang rokok yang asapnya pernah menyelinap ke trakeaku, berembus menggerogoti pulmoku, dan akhirnya berlabuh ke alveolus. Di sinilah nikotin dan teman-temannya membuat makar sebelum akhirnya berenang di aliran darahku, membunuhi cacing-cacing di ususku, dan mungkin juga mempremankan sel-sel tubuhku yang dilaluinya.

Belasan tahun pasca pemerkosaan hak anti rokok itu, tepatnya di sini di atas kursi empuk dengan meja bundarnya ini. Sambil duduk manis aku meringis, berbela sungkawa atas terbunuhnya hak saudara-saudaraku kaum perokok. Karena hampir setiap sudut (setidaknya) di kampus ini melototin perokok sambil bilang: “Kawasan Bebas Rokok” atau “Maaf, Dilarang Merokok di Sini”. Lebih parah lagi, pohonpun seolah mendukung mengusir para perokok, mereka rela di pakukan pamphlet-pamflet bertuliskan usir perokok.

Sebagai kaum (tidak) perokok, aku sedih dengan kenyataan ini. Pasalnya aku banyak berguru kepada perokok. Aku banyak mengagumi orang yang (kebetulan) suka merokok. Seandainya saja aku Capres (calon presiden), akan ku janjikan kepada kaum perokok untuk membangun sejuta bilik tempat merokok, lengkap dengan wifinya.

Photo: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBAFFomZwjfYH90wR13t_Y1W1KyczL_RbmjmM9Cha1b1sQEy6Pxgfe_mkUtKbhBckIe8meUVzcERY62ot7np8RCMa71epKYSpdd-9eUxTFg7lmupKbq6SriS1dKlKTSruMF8gtQqcabP0E/s1600/asapnya+ditelan.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...