Penulis: Betri Wendra S. [19 Maret 2014]
Aku
terlahir dari keluarga (bukan) perokok. Bapakku dan bapaknya bapakku
(kakekku) mengaku tak pernah merokok (setidaknya begitulah yang ku
lihat). Bahkan tidak mustahil Bapaknya Bapaknya Bapakku, dan terus ke
atas juga bukan seorang pencandu rokok. Intinya keluargaku adalah
(bukan) pecinta rokok sejati.
Pernah suatu kali aku merokok, waktu itu dipenghujung kelas tiga SD. Tepatnya dua tiga hari setelah sunatan. Aku bersama delapan orang teman lengkap dengan sarung masing-masing, maengkang
sambil tangan kami menjauhkan bagian sarung yang dekat ke bagian yang
disunat. Pagi itu destinasi kami adalah tapi aia (Minang: tepi air) dekat parak (Minang: ladang)
pak si Uk. Alasannya sungai di sini lebih berpasir, sehingga cocok
untuk kami berjemur mengeringkan bagian yang masih meruyak. Tidak itu
saja, entah dapat ide dari mana dan entah keluar dari suara siapa
pertama kali, kami mencari batu kali yang mulus untuk di jepitkan ke
barang berharga kami ini. Inilah yang kemudian hari menyadarkan aku
bahwa dulu aku pernah kanak-kanak, dengan ngakak habis pastinya.
Tidak
berhenti sampai di situ, kegilaan yang dengan sadar kami lakukan terus
berlanjut. Bisikan-bisikan aneh terus bermunculan di otak-otak kami,
anak-anak kampung. Konon katanya rokok bisa melekas sembuhkan bekas
sunatan (dikemudian hari ide ini kuutarakan kepada seorang teman,
dokter). “Wah, gilo ko” pikirku, “kalo abak den tau, mati den”, aku terus beralasan. “Dak kompak waang ko do”, seru seorang teman, “dak laki-laki waang kalo indak marokok do”, fatwa teman yang lain. Debat CaPreS
(Calon Preman Simpang) ini terus berjalan, sementara beberapa dari kami
telah menukarkan uangnya dengan sebungkus rokok berwarna kekuningan.
Karena perdebatan berujung alot, kesunyian mulai mengerayang,
wajah-wajah polos di depanku mulai menunjukkan ketidaksenangan, bibir
mereka mulai tidak simestris. Terang saja pemandangan ini membuatku
risau akan dikucilkan. “Oke, Samsu duo batang tek”, ucapku memutus kebisuan. Semua capres akhirnya bertepuk ria, sumringah senyum mereka menyunggingiku.
Itulah dua batang rokok yang asapnya pernah menyelinap ke trakeaku, berembus menggerogoti pulmoku, dan akhirnya berlabuh ke alveolus. Di sinilah nikotin
dan teman-temannya membuat makar sebelum akhirnya berenang di aliran
darahku, membunuhi cacing-cacing di ususku, dan mungkin juga
mempremankan sel-sel tubuhku yang dilaluinya.
Belasan
tahun pasca pemerkosaan hak anti rokok itu, tepatnya di sini di atas
kursi empuk dengan meja bundarnya ini. Sambil duduk manis aku meringis,
berbela sungkawa atas terbunuhnya hak saudara-saudaraku kaum perokok.
Karena hampir setiap sudut (setidaknya) di kampus ini melototin perokok
sambil bilang: “Kawasan Bebas Rokok” atau “Maaf, Dilarang Merokok di Sini”.
Lebih parah lagi, pohonpun seolah mendukung mengusir para perokok,
mereka rela di pakukan pamphlet-pamflet bertuliskan usir perokok.
Sebagai
kaum (tidak) perokok, aku sedih dengan kenyataan ini. Pasalnya aku
banyak berguru kepada perokok. Aku banyak mengagumi orang yang
(kebetulan) suka merokok. Seandainya saja aku Capres (calon presiden),
akan ku janjikan kepada kaum perokok untuk membangun sejuta bilik tempat
merokok, lengkap dengan wifinya.
Photo: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBAFFomZwjfYH90wR13t_Y1W1KyczL_RbmjmM9Cha1b1sQEy6Pxgfe_mkUtKbhBckIe8meUVzcERY62ot7np8RCMa71epKYSpdd-9eUxTFg7lmupKbq6SriS1dKlKTSruMF8gtQqcabP0E/s1600/asapnya+ditelan.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...