Senin, 11 Mei 2015

Sang Pemenung (Kutip dari tulisan pribadi)

Jika kau pergi ke kampungku. Dari kota Padang, kau akan butuh waktu setidaknya dua jam mengendarai motor. Bila kau telah tiba di pertigaan Gaung yang ramai itu. Matamu akan dimanjakan oleh jejeran buah bengkuang yang diikat-ikat, oleh merahnya keripik balado nan memancing liur, serta masakan khas minang lain yang belum kau tahu walau lewat mimpimu. Di kiri jalan, bus-bus ukuran sedang yang menepi akan manarik pandanganmu. Kaca belakangnya penuh dengan gambar. Ada yang gambar masjid, lukisan pemandangan alam nan hijau, bahkan Buya Hamka yang memakai peci hitam juga ada. Semua bus itu akan melewati kampungku, tapi masih lima kilometer lagi ke kampung kecilku. Karena jalur bus itu terus ke ujung pesisir selatan, tiga jam sebelum perbatasan Bengkulu. Dulu, ada bus yang langsung ke kampung kecilku, bahkan sampai dua puluh kilometer ke utara hingga negeri Limau-limau. Di sana ada objek wisata Jembatan Akar, yang menurut kata orang hanya ada dua di dunia, yang satu lagi itu di hutan Amazon sana. Sudah empat tahun ini bus Mansiro, Bayang Super, Bayang Wisata, dan lainnya itu tak kedengaran lagi klakson "pup puuppp"nya itu.
Di hari biasa, sejak subuh pertigaan Gaung sudah ramai oleh lalu lalang orang dan kendaraan. Dan akan lebih padat di hari-hari libur, terlebih lagi sepuluh hari menjelang dan setelah hari raya. Jalan kaki akan lebih cepat dari pada laju mobil.
Seratus meter dari simpang Gaung, di kanan jalan ada Masjid yang bersebelahan dengan pasar Gaung. Waktu kuliah di kota Padang, aku sering sembahyang di sini tiap pulang kampung. Terus berjalan, tiga ratus meter kau akan merasa "amazing". Desiran ombak di kanan jalan yang membelai daun telinga, puluhan kapal besar dikerumuni kapal-kapal kecil yang sedang menepi di pelabuhan Teluk Bayur, semilir angin Samudera Hindia yang menyentuh kulitmu. Semuanya akan merayumu tuk berdecak kagum, memuji kemaha-indahannya.
Jalanmu akan berkelok-kelok menyisir di sepanjang pantai. Matamu akan memandang jauh ke samudera lepas. Di kiri sepanjang jalan, kau akan ciumi aroma Bukit Lampu nan menegangkan itu. Waktu gempa bumi 2009 lalu, bongkahan batu sebesar rumah tipe 36 berguling dari arah puncak bukit dan berhenti di tengah jalan yang kau lewati ini. Untung tak ditabraknya rumah esek-esek yang menyemut di sekitar Bukit Lampu itu.
Kini, kau melewati jalan berbelok, membalik ke belakang Bukit Lampu. Dan tujuh menit lagi kau akan meninggalkannya. Pelabuhan Bungus mulai terlihat di bawah sana. Kapal-kapal besar, kecil terlihat oleh mata. Kota Padang dan pelabuhan Teluk Bayur di balik bukit kau sekarang ini.
Sampai di sini, ku puntar ceritanya biar singkat. Lain kali, jika ada kesempatan akan disambung.
Dari Pelabuhan Bungus hingga sampai ke kampungku, Kau akan melewati sebelas masjid/mushalla di kiri jalan, dan tujuh belas di kanan jalan. Kau akan selalu disuguhi keindahan pantai, kecuali sesekali menjauh dari bibirnya. Nuansa perbukitan, pesona sawah terasering, dan gemericik arus sungai nan deras berkelok akan menemanimu kala pantai tak kau temui. Kau akan melewati daerah yang rawan musim durian. Sehingga kau sampai di pertigaan Pasar Baru Bayang. Jika lurus, kau akan menuju pusat kota, Painan, dan jika terus lagi, setelah enam-tujuh jam sampailah kau di perbatasan provinsi Bengkulu. Tapi kau kan hendak ke kampungku, maka kau akan berbelok ke kiri. Lima kilometer dari sini, matamu akan hijau dengan hamparan sawah bila masih sebulan umur padinya. Tapi akan menguning mendekati musim panen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca yang baik hati. Komentar Mu sangat Ku nanti...